Бесплатно

Perjuangan Para Pahlawan

Текст
Из серии: Cincin Bertuah #1
0
Отзывы
iOSAndroidWindows Phone
Куда отправить ссылку на приложение?
Не закрывайте это окно, пока не введёте код в мобильном устройстве
ПовторитьСсылка отправлена
Отметить прочитанной
Шрифт:Меньше АаБольше Аа

Namun ketika ia membuka mulutnya dan akan berbicara, tiba-tiba terdengarlah sebuah suara yang kasar, entah dari mana.



“Gwendolyn!” jerit sebuah suara.



Mereka berputar dan melihat ibu gadis itu, Sang Ratu, dalam busana terbaiknya, ditemani para dayang, melangkah cepat ke arah putrinya. Wajahnya tampak marah.



Sang Ratu berjalan tepat ke arah Gwen, menarik tangannya dengan kasar dan berseru kepadanya.



“Kembalilah kau ke dalam sekarang. Apa yang sudah kukatakan padamu? Aku tak ingin kau berbicara dengannya lagi. Kau mengerti?”



Wajah Gwen memerah, gabungan antara rasa marah dan malu.



“Lepaskan aku!” teriaknya pada ibunya. Tapi semua itu sia-sia; ibunya terus menariknya pergi, dan para dayang mengepungnya.



“Kubilang, lepaskan aku!” teriak Gwen. Ia menatap ke arah Thor dengan putus asa, tatapannya sedih, mengundang rasa iba.



Thor memahami perasaan Gwen. Ia sudah pernah merasakan perasaan semacam itu. Ia ingin sekali menyusul gadis itu, dan hatinya hancur ketika ia dibawa pergi darinya. Semua itu ibarat memandang masa depan yang dibawa pergi menjauh darinya, tepat di depan matanya.



Ia berdiri di sana cukup lama hingga gadis itu menghilang dari pandangan, terus menatapnya, tersungkur di tempat itu, tanpa nafas. Ia tak ingin pergi, tak ingin melupakan semua ini.



Terlebih lagi, ia tak ingin membayangkan bahwa ia mungkin tak akan dapat bertemu dengannya lagi.



*



Thor berjalan dengan malas kembali menuju kastil, masih memikirkan perjumpaannya dengan Gwen. Ia bahkan tak mempedulikan keadaan di sekitarnya. Pikirannya dikuasai oleh lamunan tentang gadis itu; ia tak dapat berhenti memandang wajah sang putri. Gadis itu menakjubkan. Ia adalah gadis yang tercantik, ramah, manis, lembut, penuh cinta dan lucu. Ia ingin berjumpa dengannya lagi. Ia benar-benar merasakan kepedihan akibat ketidakhadiran gadis itu. Ia tak memahami perasaannya terhadap Gwen, dan hal itu membuatnya takut. Ia baru saja mengenalnya, kemudian ia tahu bahwa ia tak bisa jauh darinya.



Pada saat yang sama ia memikirkan kembali tentang Sang Ratu, dan perutnya merasa tertekan ketika memikirkan kekuatan luar biasa yang memisahkan mereka. Kekuatan yang tidak menginginkan mereka bersama karena suatu alasan.



Ketika ia mencoba memikirkannya, mendadak sebuah tangan yang kaku menyentuh dadanya, memberhentikan langkahnya dengan paksa.



Ia mengangkat wajahnya dan melihat seorang laki-laki, mungkin beberapa tahun lebih muda darinya, tinggi dan kurus, mengenakan pakaian termahal yang pernah dilihatnya – sutra kaum bangsawan yang berwarna ungu dan hijau, dengan sebuah topi bulu yang lebar – menyeringai ke arahnya. Laki-laki itu tampak suka bersolek, manja, karena dibesarkan dalam lingkungan kemewahan, dengan tangan lembut dan alis melengkung tinggi yang memandang ke bawah dengan tatapan hina.



“Mereka memanggilku Alton,” kata laki-laki itu. “Aku adalah putra dari Lord Alton, saudara sepupu pertama Raja. Kami telah menjadi bangsawan kerajaan selama tujuh abad. Dan hal itu membuatku memiliki gelar Duke. Kau, sebaliknya, adalah orang biasa,” katanya, seakan hendak meludahi kata-kata itu. “Istana raja adalah untuk kaum bangsawan. Dan untuk orang-orang berkedudukan. Bukan untuk seseorang sepertimu.”



Thor berdiri di sana, tak tahu siapa laki-laki itu atau apa yang telah diperbuatnya sehingga ia merasa marah.



“Apa yang kau inginkan?” tanya Thor.



Alton terkekeh.



“Tentu saja, kau tak akan tahu. Kau mungkin tak tahu tentang apapun, bukan? Beraninya kau menerobos kemari dan berpura-pura menjadi salah satu dari kami!” hardiknya.



“Aku tak berpura-pura tentang sesuatupun,” kata Thor.



“Yah, aku tak peduli gelombang apakah yang membuatmu masuk kemari. Aku hanya ingin mengingatkanmu, sebelum kau terlalu jauh berfantasi. Gwendolyn adalah milikku.”



Thor balas menatapnya, tertegun. Miliknya? Ia tak tahu apa yang musti dikatakannya.



“Pernikahan kami telah diatur sejak lahir,” lanjut Alton. “Usia kami sama, dan punya kedudukan yang sama. Rencana sudah mulai dilaksanakan. Jangan sekali pun kau berpikir meski sekejap, bahwa hal itu akan berubah.”



Thor merasa angin telah berhasil membuat dirinya jatuh; ia bahkan tidak memiliki kekuatan untuk menjawab.



Alton melangkah lebih dekat dan memandangnya.



“Kau lihat,” ujarnya dengan suara halus. “Aku izinkan ia berpacaran. Ia punya banyak. Setiap saat ia akan merasa iba kepada orang biaasa, atau bahkan seorang pelayan. Ia ingin menjadikan mereka sebagai hiburannya, sebagai permainannya. Kau mungkin menyimpulkan bahwa semua berarti sesuatu. Tapi tidak ada yang lebih bagi Gwen. Kau hanyalah seorang kenalan, sebuah permainan lain. Ia mengumpulkan semuanya seperti mereka. Mereka tak berarti apapun baginya. Ia akan menyukai orang biasa yang baru datang, dan setelah satu atau dua hari ia akan merasa bosan dan melupakanmu. Kau bukanlah apapun baginya, itu benar. Dan di penghujung tahun Gwen dan aku akan menikah. Untuk selamanya.”



Alton mebelalakkan matanya lebar-lebar, menunjukkan kehendaknya yang menakutkan.



Thor merasa patah hati mendengar perkataannya. Apakah itu benar? Apakah ia tak berarti apa-apa untuk Gwen? Kini ia merasa bingung; ia tak tahu apa yang harus ia percayai. Gadis itu tampak begitu tulus. Ataukah Thor telah membuat keputusan yang salah?



“Kau bohong,” Akhirnya Thor membalasnya.



Alton mendengus, dan kemudian mengangkat salah satu jarinya yang lembek dan menusukkannya ke dada Thor.



“Kalau akau melihat kau berada di dekatnya lagi, aku akan gunakan pengaruhku untuk memanggil pengawal kerajaan. Mereka akan memenjarakanmu!”



“Atas alasan apa?!” tanya Thor.



“Aku tak memerlukan alasan. Aku punya kedudukan di sini. Aku akan bertindak, dan akulah yang akan mereka percayai. Ketika aku selesai menyebarkan fitnah tentangmu, separuh kerajaan akan tahu kau seorang penjahat.”



Alton tersenyum, merasa puas; Thor merasa tertekan.



“Kau tak punya kehormatan,” kata Thor, tak bisa memahami mengapa seseorang dapat bertindak sedemikian tak terpuji.



Alton tertawa, dengan suara melengking tinggi.



“Aku tidak memerlukannya,” katanya. “Kehormatan adalah untuk orang-orang tolol. Aku akan mendapatkan apa yang kuinginkan. Kau bisa simpan kehormatanmu. Dan aku akan menjadikan Gwendolyn milikku.”





BAB DUA PULUH



Thor berjalan bersama Reece keluar dari gerbang melengkung Istana Raja dan menuju jalan pedesaan yang mengarah ke barak Legiun. Para penjaga berdiri tegak pada mereka ketika mereka lewat dan Thor merasakan rasa memiliki, dia seperti bukan orang asing. Ia mengingat kembali hanya ke beberapa hari sebelumnya, ketika seorang penjaga telah mengejarnya keluar dari sini. Berapa banyak yang berubah, begitu cepat.



Thor mendengar lengkingan suara dan mendongak untuk melihat, tinggi di atas kepala, Estopheles berputar-putar, melihat ke bawah. Dia turun, dan Thor, bersemangat, mengulurkan pergelangan tangannya, masih mengenakan sarung tangan logam. Tapi dia naik lagi dan terbang, lebih tinggi dan lebih tinggi, meskipun tidak benar-benar keluar dari pandangan. Thor bertanya-tanya. Dia adalah hewan mistis, dan ia merasa koneksi kuat kepadanya sulit untuk dijelaskan.



Thor dan Reece terus berjalan dalam kesunyian, meneruskan dalam langkah cepat ke arah barak. Thor tahu saudara-saudaranya akan menunggunya dan bertanya-tanya seperti apa penerimaan yang akan ia terima. Apakah akan ada iri hati dan kecemburuan? Akankah mereka marah karena ia mendapat semua perhatian ini? Akankah mereka menggodanya karena dibawa kembali melewati lembah itu? Atau akankah mereka akhirnya menerimanya?



Thor berharap pada yang terakhir. Ia telah mencoba berjuang dengan seluruh Legiun dan hanya menginginkan, lebih dari apapun, untuk menjadi bagian mereka. Untuk diterima sebagai salah satu dari mereka.



Barak itu muncul dalam pandangan di kejauhan, dan pikiran Thor mulai diisi dengan hal lain.



Gwendolyn.



Thor tidak tahu seberapa banyak ia bisa bicara kepada Reece tentang hal ini, karena dia adalah kakak perempuannya. Tapi ia tidak bisa mengeluarkannya dari pikirannya. Ia tidak bisa berhenti memikirkan perjumpaannya dengan anggota kerajaan yang menakutkan itu, Alton, dan bertanya-tanya seberapa banyak dari yang dia katakana adalah benar. Sebagian dirinya takut untuk membahasnya dengan Reece, tidak menginginkan risiko membuatnya marah dengan cara apapun dan kehilangan teman barunya juga kakak perempuannya. Tapi sebagian dirinya yang lain harus mengetahui apa yang ia pikirkan.



“Siapa Alton itu?” Thor akhirnya bertanya, was-was.



“Alton?” ulang Reece. “Mengapa kau bertanya tentang dia?”



Thor mengangkat bahu, tidak yakin seberapa banyak untuk dikatakan.



Untungnya, Reece meneruskan.



“Dia seorang bangsawan rendah yang cuma mengancam. Sepupu ketiga Raja. Kenapa? Apa dia mengejarmu karena sesuatu?” Lalu Reece menyipitkan matanya. “Gwen? Apakah tentang itu? Aku seharusnya sudah memperingatkanmu.”



Thor berpaling dan menatap Reece, ingin sekali mendengar lebih banyak.



“Apa maksudmu?”



“Dia orang udik. Dia sudah mengejar kakakku sejak ia bisa berjalan. Dia yakin mereka berdua akan menikah. Ibuku nampaknya berpikir demikian juga.”



“Akankah mereka menikah?” tanya Thor, terkejut oleh desakan dalam suaranya sendiri.



Reece menatapnya dan tersenyum.



“Wah, wah, kau sudah jatuh cinta padanya, ya?” Ia terkekeh. “Cepat sekali.”



Thor memerah, berharap hal itu tidak begitu jelas terlihat.



“Akankah mereka melakukannya atau tidak tergantung pada perasaan kakakku padanya,” Reece akhirnya menjawab. “Kecuali mereka memaksakan dia untuk menikah. Tapi aku ragu ayahku akan melakukannya.”

 



“Dan bagaimanakah perasaan Gwen padanya?” tekan Thor, kuatir ia menjadi terlalu sangat ingin tahu, tapi ingin mengetahuinya.



Reece mengangkat bahu. “Menurutku, kau harus bertanya padanya. Aku tidak pernah berbicara dengannya tentang hal itu.”



“Tapi akankah ayahmu memaksanya untuk menikah?” tekan Thor. “Bisakah beliau benar-benar berbuat sesuatu?”



“Ayahku bisa melakukan apapun yang beliau inginkan. Tapi hal itu adalah antara beliau dan Gwen.”



Reece menoleh dan menatap Thor.



“Ada apa dengan semua pertanyaan itu? Apa yang kau bicarakan?”



Thor tersipu, tidak yakin apa yang harus dikatakan.



“Tidak ada,” akhirnya dia berkata.



“Tidak ada!” Reece tertawa. “Terdengar seperti banyak hubungannya denganku!”



Reece tertawa lebih keras, dan Thor merasa malu, bertanya-tanya apakah ia baru saja membayangkan Gwen menyukainya. Reece mendekat dan merangkulkan tangannya di bahu Thor.



“Dengar, sobat,” kata Reece, “satu-satunya hal yang bisa kau tahu pasti tentang Gwen adalah bahwa dia tahu apa yang dia inginkan. Dan dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Itu selalu terjadi. Dia berkeinginan kuat sama seperti ayahku. Tidak ada yang bisa memaksanya melakukan sesuatu – atau menyukai siapa pun – yang tidak dia inginkan. Jadi jangan khawatir. Jika dia memilihmu, percayalah, dia akan memberitahumu. Oke?”



Thor mengangguk, merasa lebih baik, seperti biasanya, setelah berbicara dengan Reece.



Ia memandang ke atas dan melihat gerbang raksasa menuju barak Legiun di hadapannya. Ia terkejut melihat beberapa bocah lain berdiri di gerbang, seolah-olah menunggu mereka, dan bahkan sangat terkejut melihat mereka menyeringai, dan kemudian menyuarakan sorak-sorai saat melihat dia. Mereka segera maju, merangkul bahu Thor, melingkarkan lengan mereka di sekitarnya, dan menariknya. Thor terpana saat ia masuk ke dalam pelukan atas niat baik oleh yang lainnya.



“Katakan pada kami tentang Ngarai. Seperti apa rasanya berada di sisi lain?” tanya salah satu dari mereka.



“Seperti apa makhluk itu? Yang kau bunuh?” tanya yang lainnya.



“Aku tidak membunuhnya,” protes Thor. “Erec yang melakukannya.”



“Aku dengan kau menyelamatkan nyawa Elden,” kata seseorang.



“Aku dengar kau menyerang monster yang ganas. Tanpa senjata.”



“Kau adalah bagian dari kami sekarang!” teriak seseorang, dan anak lain bersorak, mengiringnya sepanjang jalan, seolah-olah ia adalah saudara mereka yang telah lama hilang.



Thor sangat sulit memercayainya. Semakin banyak ia mendengar kata-kata mereka, semakin ia menyadari mungkin mereka memang mempunyai maksud. Mungkin ia telah menjadi berani. Ia tidak pernah benar-benar mengira tentang hal itu. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia mulai merasa hebar terhadap dirinya sendiri. Sebagian besar karena sekarang, akhirnya, ia merasa ia menjadi bagian anak-anak ini. Ia merasakan ketegangan lepas dari bahunya.



Thor diantarkan menuju lapangan pelatihan, dan di depannya berdiri lusinan lebih dari para Legiun, bersama dengan lusinan anggota Kesatuan Perak. Mereka, juga, menyuarakan sorakan saat melihatnya. Mereka semua mendekat dan menepuk punggungnya,



Kolk melangkah maju, dan yang lainnya terdiam. Thor memberanikan dirinya, karena Kolk tidak pernah melakukan apa pun selain mengejek Thor. Tapi sekarang, yang mengejutkan Thor, dia menatapnya dengan berbagai macam ekspresi. Sementara dia masih tidak bisa cukup memaksa dirinya untuk tersenyum, dia tidak cemberut. Dan Thor berani bersumpah ia menemukan sesuatu seperti kekaguman di matanya



Kolk mendekat, memegang sebuah lencana kecil elang hitam, dan menyematkannya di dada Thor.



Pin Legiun. Thor telah diterima. Akhirnya, ia adalah salah satu dari mereka.



“Thorgrin dari Provinsi Selatan dari Kerajaan Barat,” kata Kolk, bersungguh-sungguh. “Kamu menyambutmu dalam Legiun.”



Para bocah lelaki mengeluarkan sorakan, lalu segera mendekat, melingkarkan lengan mereka di sekitar Thor dan mengguncang-guncangkan ia ke sana-sini.



Thor bahkan tidak dapat menerima semuanya. Ia mencoba tidak melakukannya. Ia hanya ingin menikmati saat ini. Sekarang, akhirnya, ada suatu tempat di mana ia diterima.



Kolk berpaling dan menghadapi laki-laki lainnya.



“Oke, anak-anak, tenangkan diri kalian,” perintahnya. “Hair ini adalah sebuah hari spesial. Tidak ada tentang garu jerami dan menyemir dan kuda untuk kalian. Sekarang inilah saatnya untuk pelatihan yang sesungguhnya. Ini adalah hari senjata.”



Para pria kembali dan bersorak girang, dan mengikuti Kolk saat ia berderap melintasi lapangan latihan menuju bangunan melingkar yang sangat besar yang terbuat dari kayu ek, dengan pintu-pintu perunggu yang mengilap. Thor berjalan bersama grup saat mereka mendekat, dengung semangat di udara. Reece ada di sampingnya, dan O’Connor datang dan bergabung dengan mereka.



“Aku mengira tidak akan melihatmu hidup lagi,” kata O’Connor, tersenyum dan menepuk-nepukkan tangan di bahu Thor. “Lain kali, bangunkan aku dulu, ya?”



Thor balas tersenyum.



“Bangunan apakah itu?” tanya Thor pada Reece, saat mereka semakin dekat. Ada paku keling besi yang sangat besar di seluruh pintu, dan tempat yang memiliki kehadiran yang mengagumkan.



“Gedung senjata,” jawab Reece. “Gedung itu adalah di mana mereka menyimpan semua senjata kita. Sesekali mereka membiarkan kita mengintip, bahkan berlatih dengan beberapa senjata. Tergantung palajaran apa yang ingin mereka sampaikan.”



Perut Thor mengencang saat ia mengetahui Elden menuju ke arah mereka. Thor memberanikan dirinya sendiri, menunggu sebuah ancaman – tapi saat ini, yang mengejutkan Thor, Elden menyiratkan wajah penghargaan.



“Aku harus berterima kasih,” katanya, menatap dengan rendah hati. “Karena menyelamatkan nyawaku.”



Thor bingung; ia tidak pernah mengharapkan hal ini dari dia.



“Aku salah tentangmu,” tambah Elden. “Teman?” tanyanya.



Ia mengulurkan tangan.



Thor, bukanlah seseorang yang menyimpan dendam, dengan gembira mengulurkan tangan dan menjabat tangannya.



“Teman,” kata Thor.



“Aku tidak menganggap enteng kata-kata itu,” kata Elden. “Aku akan selalu mendukungmu. Dan aku berutang budi padamu.”



Dengan itu, ia kembali dan segera kembali menuju kerumunan.



Thor hampir tidak tahu harus bagaimana. Ia takjub atas cepatnya sesuatu berubah.



“Aku pikir ia tidak sepenuhnya bajingan,” kata O’Connor. “Mungkin dia baik.”



Mereka sampai di gudang senjata. Pintu yang sangat besar berayun terbuka, dan Thor masuk dengan perasaan kagum. Ia berjalan dengan pelan, lehernya menjulur, mengamati tempat dalam lingkarang yang luas, berusaha memahaminya. Ada ratusan senjata, senjata yang bahkan tidak ia ketahui, tergantung di dinding. Anak-anak lainnya segera mendekat dengan semangat, berlari ke arah senjata, mengambilnya, memegangnya, memeriksanya. Thor mengikuti contoh mereka, merasa seperti seorang anak di sebuah toko permen.



Ia segera menuju ke tombak berkapak, mengibarkan poros kayu dengan dua tangan, dan merasakan beratnya. Tombak itu sangat besar dan diminyaki dengan baik. Mata pisau itu usang dan berlekuk, dan ia bertanya-tanya apakah tombak itu telah membunuh prajurit di pertempuran.



Ia meletakkannya dam mengambil sebuah cambuk berpaku, sebuah bola logam dihubungkan dengan tongkat pendekdengan sebuah rantai yang panjang. Ia memegang tongkat dan merasakan ujung logam bergerak di ujung rantai. Di sampingnya, Reece memegang sebuah kapak perang dan O’Connor mencoba menimbang berat sebuah lembing, menusukkannya seolah-olaj musuh berad di depannya.

 “Dengarkan!” teriak Kolk, dan mereka semua berpaling.



“Hari ini kita akan belajar tentang melawan musuhmu dari suatu jarak. Bisakah siapa pun di sini mengatakan padaku senjata apa yang bisa digunakan? Apa yang bisa membunuh seseorang dari jarak tiga puluh langkah?”



“Busur dan anak panah,” teriak seseorang.



“Ya,” jawab Kolk. “Apa lagi?”



“Tombak!” seru seseorang.



“Apa lagi? Ada lebih banyak dari itu saja. Ayo sebutkan.”



“Ketapel,” tambah Thor.



“Apa lagi?”



Thor memutar otak, tapi kehabisan pilihan.



“Pisau lempar,” teriak Reece.



“Apa lagi?”



Anak lainnya ragu-ragu. Tidak ada yang gagasan tersisa.



“Ada ada palu lempar," seru Kolk," dan kapak lempar. Ada panah. Tombak bisa dilempar. Begitu juga pedang.”



Kolk berderap di ruang itu, melihat ke sekeliling wajah anak-anak itu, yang berdiri penuh dengan perhatian.



“Itu tadi belum semua. Batu biasa dari tanah bisa menjadi teman terbaikmu. Aku telah melihat seorang laki-laki, sebesar banteng, seorang pahlawan perang, terbunuh seketika dari sebuah batu oleh prajurit yang mahir. Prajurit seringkali tidak menyadari bahwa baju zirah juga bisa digunakan sebagai senjata. Sarung tangan bisa dilepaskan dan dilemparkan ke wajah seorang musuh. Ini bisa membuatnya mundur, beberapa kaki jauhnya. Pada saat itu, kau bisa membunuhnya. Perisaimu bisa dilemparkan juga.”



Kolk menarik napas.



“Penting saat kau belajar untuk bertempur, kau tidak hanya belajar bertarung dalam jarak jauh antara kau dan lawanmu. Kau harus memperluas pertarunganmu sampai jarak yang sangat jauh. Sebagian besar orang bertarung dengan jangkauan tiga langkah. Seorang ksatria yang baik bertarung dengan jangkauan tiga puluh langkah. Mengerti?”



“Ya pak!” muncul seruan bersamaan.



“Bagus. Hari ini, kita akan mempertajam keahlian melemparmu. Telusuri ruangan ini dan ambil peralatan pelempar yang kau lihat. Tiap orang memegang satu senjata dan berada di luar dalam tiga puluh detik. Sekarang cepat!”



Ruangan pecah menjadi perebutan, dan Thor berlari ke dinding, mencari sesuatu untuk diraih. Dia terbentur dan terdorong ke segala arah oleh anak-anak bersemangat lainnya, sampai akhirnya ia melihat apa yang ia inginkan dan menyambarnya. Itu adalah sebuah kapak lempar kecil. O'Connor meraih belati, Reece pedang, dan mereka bertiga berlari keluar bersama anak-anak lain ke lapangan.



Mereka mengikuti Kolk ke seberang lapangan, di mana ada barisan selusin perisai di pos.



Semua anak laki-laki, memegang senjata mereka, berkumpul di sekitar Kolk dengan penuh harap.



“Kau akan berdiri di sana,” suaranya menggelegar, menunjuk ke sebuah garis di tanah, “dan arahkan sasaran ke perisai-perisai itu ketika melemparkan senjatamu. Kau kemudian akan lari ke perisai itu, mengambil senjata yang berbeda, dan berlatih melempar senjata itu. Jangan pernah memilih senjata yang sama. Selalu arahkan pada perisai. Bagi mereka yang gagal mengenai perisai, kalian akan diharuskan untuk berlari satu putaran mengelilingi lapangan. Mulai!”



Anak-anak itu berbaris, berdampingan, di belakang garis tanah, dan mulai melempar senjata-senjata mereka kea rah perisai, yang pastinya kira-kira tiga puluh yard jauhnya. Thor berada dalam antrian bersama mereka. Bocah di sampingnya menarik tangan ke belakang dan melempar tombaknya, meleset hanya segaris rambut.



Bocah itu berpaling dan mulai berlarian ke sekeliling arena. Saat ia melakukannya, seorang anggota prajurit Raja berlari di sampingnya, dan menaruh sebuah jubah logam yang berat ke atas bahunya, membebaninya.



“Lari dengan jubah itu, nak!” perintahnya.



Bocah itu, terbebani, sudah berkeringat, terus berlari kepanasan.



Thor tidak ingin meleset mengenai sasarannya. Ia mencondongkan badan ke belakang, berkonsentrasi, menarik kapak lemparnya ke belakang, dan melemparkannya. Ia menutup matanya dan berharap kapak itu mengenai sasarannya, dan lega mendengar suara kapak itu mengenai permukaan perisai. Ia hampir berhasil, mengenai pojok bawah, tapi paling tidak ia mengenainya. Semua di sekitarnya, beberapa bocah meleset dan berakhir mengelilingi lapangan. Beberapa yang mengenai sasaran berlomba menuju perisai untuk mengambil sebuah senjata baru.



Thor mencapai perisai dan menemukan belati lempar panjang yang tipis, yang ia ambil, lalu berlari kembali ke garis lemparan.



Mereka terus melempar selama berjam-jam, sampai lengan Thor terasa lelah dan ia harus berlari satu sampai beberapa putaran. Ia bermandikan keringat, demikian halnya prajurit-prajurit lain di sekelilingnya. Ini adalah sebuah latihan yang menarik, untuk melemparkan semua jenis senjata, untuk menjadi terbiasa merasakan dan menimbang semua poros dan belati yang berbeda. Thor merasa dirinya menjadi lebih baik, lebih terbiasa dengan senjata-senjata itu, dalam setiap lemparan. Tapi tetap saja, hawa panasnya menekan, dan ia merasa lelah. Hanya ada belasan prajurit yang masih berdiri di depan perisai, dengan sebagian besar dari mereka terpatahkan oleh putaran lapangan. Sangat sulit untuk mengenai sasaran berulang kali, dengan begitu banyak senjata yang berbeda, dan putaran lapangan dan hawa panas itu membuat keakurasian semakin sulit. Thor terengah-engah, dan tidak tahu seberapa lama lagi ia bisa bertahan. Hanya saat ia merasa akan pingsan, tiba-tiba, Kolk melangkah maju.

 



“Cukup!” teriaknya.



Para prajurit kembali dari putaran mereka dan ambruk di rerumputan. Mereka berbaring di sana, terengah-engah, napas memburu, melepas jubah logam berat yang telah dipakaikan pada mereka. Thor juga, duduk di rerumputan, lengannya kelelahan, bercucuran keringat. Beberapa prajurit Raja datang berkeliling dengan ember air dan menjatuhkannya ke rumput. Reece mengulurkan tangan, meraih salah satunya, minum dari situ, lalu memberikannya pada O’Connor, yang meminumnya dan menyerahkannya pada Thor. Thor minum dan minum, air mengalir turun pada pipi dan dadanya. Air itu terasa luar biasa. Ia bernapas berat saat ia mengulurkannya kembali pada Reece.



“Seberapa lama hal ini akan berlangsung?” tanyanya.



Reece menggelengkan kepalanya, mendesah. “Aku tidak tahu.”



“Aku bersumpah mereka mencoba membunuh kita,” muncul sebuah suara. Thor berpaling dan melihat Elden, yang datang dan duduk di sampingnya. Thor terkejut melihatnya di sana, dan memperkuat bahwa Elden benar-benar ingin berteman. Aneh melihat peubahan itu dalam tingkah lakunya.



“Anak-anak!” teriak Kolk, berjalan perlahan di antara mereka. “Semakin banyak kau meleset mengenai sasaranmu sekarang, di akhir hari. Sebagaimana kalian lihat, semakin sulit menjadi akurat saat kau lelah. Itulah intinya. Saat pertempuran, kau tidak akan merasa segar. Kalian akan kelelahan. Beberapa peperangan dapat berlanjut selama berhari-hari. Khususnya jika kau menyerang sebuah kastil. Dan inilah di mana kalian pada kondisi paling lelah tapi kalian harus membuat lemparan yang paling akurat. Seringkali kau akan dipaksa untuk melempar senjata apapun yang ada dekatmu. Kau harus menjadi mahir dalam setiap senjata, dan dalam setiap bentuk kelelahan. Apakah hal itu dimengerti?”



“YA PAK!” mereka berseru menjawabnya.



“Beberapa dari kalian bisa melempar pisau, atau tombak. Tapi orang yang sama itu meleset dengan martil atau kapak. Apa kau kira kau bisa selamat dengan melemparkan satu senjata?”



“TIDAK PAK!”



“Apa kau ini hanyalah sebuah permainan?”



“TIDAK PAK!”



Kolk menyeringai saat ia melangkah, menendang anak-anak di punggungnya yang ia rasa tidak duduk cukup tegak.



“Kalian sudah cukup lama beristirahat,” katanya. “Berdiri!”



Thor berusaha berdiri bersama dengan yang lainnya, kakinya pegal, tidak yakin sebarapa banyak lagi ia bisa bertahan.



“Ada dua sisi untuk bertempur jarak jauh,” lanjut Kolk. “Kalian bisa melempar – tapi juga musuhmu. Ia mungkin tidak aman pada tiga puluh langkah jauhnya – tapi kau tidak akan selamat juga. Kalian harus belajar cara mempertahankan dirimu sendiri pada tiga puluh langkah. Apakah hal itu dimengerti?”



“YA PAK!”



“Untuk mempertahankan dirimu sendiri dari melemparkan obyek, kalian akan harus tidak hanya waspada dan cepat di atas kakimu, untuk membungkuk, atau berguling, atau mengelak – tapi juga untuk menjadi terbiasa melindungi dirimu sendiri dengan sebuah perisai besar.”



Kolk member isyarat, dan seorang prajurit membawa sebuah perisai besar dan berat. Thor terpana – perisai itu hampir dua kali dari ukurannya.



“Apakah ada seorang sukarelawan?” tanya Kolk.



Kelompok anak-anak itu terdiam, tertegun, dan tanpa berpikir, Thor bergerak dengan cepat dalam sekejap, mengangkat tangannya.



Kolk mengangguk, dan Thor segera maju.



“Bagus,” kata Kolk. “Paling tidak salah satu dari kalian cukup bodoh untuk menjadi sukarelawan. Aku suka semangatmu, nak. Keputusan yang bodoh. Tapi bagus.”



Thor mulai bertanya-tanya apakah ia benar-benar membuat sebuah keputusan bodoh saat Kolk menyerahkan perisai logam yang sangat besar. Ia mengencangkannya pada salah satu lengan, dan tidak bisa percaya seberapa beratnya. Ia hampir tidak bisa mengangkatnya.



“Thor, misimu adalah untuk berlari dari ujung lapangan ini ke ujung lainnya. Tanpa terluka. Lihat lima puluh anak yang menghadapmu?” kata Kolk pada Thor. “Mereka semua akan melemparkan senjata padamu. Senjata sungguhan. Apa kau mengerti?” jika kau tidak menggunakan perisaimu untu

Купите 3 книги одновременно и выберите четвёртую в подарок!

Чтобы воспользоваться акцией, добавьте нужные книги в корзину. Сделать это можно на странице каждой книги, либо в общем списке:

  1. Нажмите на многоточие
    рядом с книгой
  2. Выберите пункт
    «Добавить в корзину»