Бесплатно

Perjuangan Para Pahlawan

Текст
Из серии: Cincin Bertuah #1
0
Отзывы
iOSAndroidWindows Phone
Куда отправить ссылку на приложение?
Не закрывайте это окно, пока не введёте код в мобильном устройстве
ПовторитьСсылка отправлена
Отметить прочитанной
Шрифт:Меньше АаБольше Аа

Di sampingnya, sebatang pohon besar berumur ratusan tahun, terbelah menjadi dua begitu suaranya ememcah keheningan.

Elden berdiri, membeku dalam ketakutan. Ia menjatuhkan pedangnya, dan tanah di bawahnya menjadi basah.

Makhluk itu meneteskan liurnya dan menggeram, maju ke arah Elden.

Thor juga dicekam rasa takut. Namun tak seperti Elden, rasa takut itu tak melumpuhkannya. Karena sesuatu hal, rasa takut memperkuat nalurinya, membuatnya merasa lebih bernyawa. Rasa takut itu memberikannya sebuah ruang untuk membidik. Membuatnya dapat memfokuskan diri pada makhluk di depannya, pada posisinya yang mengarah ke Elden, pada lebar dan besarnya, pada kekuatan dan kecepatannya. Pada setiap gerakan yang dibuatnya. Rasa takut juga mampu membuatnya memusatkan diri pada posisi tubuhnya sendiri, pada senjatanya sendiri.

Thor melesat, mengambil posisi di antara makhluk itu dan Elden. Makhluk itu mengaum, napasnya terasa sangat panas. Thor dapat merasakannya dari kejauhan. Suaranya membuat seluruh bulu kuduknya merinding dan membuatnya berbalik untuk melarikan diri. Namun ia mendengar suara Erec di kepalanya, mengatakan padanya untuk tegar. Untuk menjadi berani. Untuk mempertahankan keseimbangan batinnya. Dan ia memaksa dirinya sendiri untuk bertahan.

Thor mengacungkan pedangnya tinggi-tinggi dan melesat, menusukkannya ke arah tulang rusuk makhluk itu, ke jantungnya.

Makhluk itu menjerit kesakitan, darahnya mengucur membasahi tangan Thor ketika ia mendorong pangkal pedangnya dalam-dalam.

Namun Thor tertegun, makhluk itu tidak mati. Seakan-akan makhluk itu tembus pandang.

Tanpa menunggu lama, makhluk itu menghentakkan tubuhnya dan menyapu tubuh Thor dengan sangat keras sampai ia merasa tulang rusuknya patah.

Thor menengadah, panik, dunia seakan berputar. Makhluk itu menjulurkan tangannya dan mengeluarkan pedang Thor dari dalam perutnya. Pedang itu nampak kecil di tangannya, seperti sebatang tusuk gigi dan makhluk itu melemparnya jauh-jauh hingga terbang melalui pepohonan, menebas beberapa cabang pohon dan menghilang di dalam hutan.

Makhluk itu mengalihkan perhatiannya pada Thor dan mulai berjalan gontai ke arahnya.

Elden masih berada di sana, masih tercekam rasa takut. Namun ketika makhluk buruk rupa itu hendak menerkam Thor, tiba-tiba Elden bergerak untuk bertindak. Ia menyerang makhluk itu dari belakang dan melompat ke punggungnya. Hal itu berhasil memperlambat makhluk itu, memberi cukup waktu bagi Thor untuk bangkit berdiri. Makhluk itu geram, mengayunkan lengannya dan melemparkan Elden. Tubuhnya melayang melampau dataran, menabrak sebuah pohon dan tersungkur di tanah.

Makhluk itu masih mencucurkan darah, berjalan terhuyung-huyung, mengalihkan perhatiannya pada Thor. Makhluk buruk rupa itu menggeram dan melebarkan cakarnya ketika mendekati Thor.

Thor tak memiliki pilihan. Pedangnya telah hilang, dan tak ada apapun yang menghalanginya dari makhluk buas itu. Monster itu menuju ke arahnya, dan pada detik terakhir, Thor menghindar. Monster itu menebas sebuah pohon dimana Thor berada sebelumnya dan berusaha mencabutnya dengan sekuat tenaga.

Makhluk itu mengangkat kakinya dan menjejakkannya ke arah kepala Thor. Thor sekali lagi menggulingkan tubuhnya; makhluk itu telah meninggalkan jejak di atas jejak Thor.

Thor kembali berdiri, meraih sebuah batu dan menyembunyikannya dalam sabuknya, lalu melemparkannya.

Ia melemparkan batu itu tepat di antara kedua mata makhluk yang berbentuk segi empat, sebuah lemparan terkuat yangpernah dibuatnya, dan makhluk itu masih berjalan terhuyung-huyung. Thor merasa yakin ia telah membunuhnya tadi.

Namun di luar dugaannya, makhluk itu tak juga berhenti bergerak.

Thor mencoba memanggil kekuatannya, kekuatan apapun itu namanya. Ia menyerang makhluk buas itu, melompat ke depan, menubruknya, bermaksud menjatuhkan dan membuatnya jatuh tersungkur di tanah dengan kekuatan manusia super.

Thor tercengang, kali ini kekuatan itu tak muncul. Ia hanyalah bocah biasa. Seorang bocah lemah di hadapan makhluk raksasa.

Makhluk buas itu akhirnya menggapainya, menerkam pinggang Thor dan mengangkat Thor tinggi-tinggi di atas kepalanya. Thor putus asa, terkulai tinggi di udara – kemudian terlempar. Ia terbang seperti misil mengarungi dataran dan kembali membentur sebuah pojon. Thor terbaring di sana, tercekat, kepalanya terasa berputar, tulang rusuknya terbelah menjadi dua. Makhluk buas itu berlari ke arahnya dan ia tahu kali ini ia akan dibinasakan. Makhluk itu mengangkat kakinya yang merah dan berotot, siap menjejakkannya tepat di atas kepala Thor. Ia bersiap untuk mati.

Lalu, entah mengapa, makhluk itu membeku di udara. Thor mengejapkan mata, mencoba memahami apa sebabnya.

Makhluk itu menggapai dan memegangi lehernya, dan Thor melihat kepala sebuah anak panah menyembul darinya. Sesaat kemudian, makhluk itu terkulai dan mati.

Erec mendadak muncul di hadapannya, diikuti Reece dan O’Connor. Thor melihat Erec membungkuk di hadapannya, bertanya apakah ia baik-baik saja, dan ia ingin menjawabnya, lebih dari apapun. Namun tak sepatah kata pun keluar. Beberapa saat kemudian, matanya tertutup dan dunia berubah menjadi hitam.

BAB DELAPAN BELAS

Thor membuka matanya perlahan, pusing pada mulanya, mencoba untuk mencari tahu di mana ia berada. Ia berbaring di atas jerami, dan sejenak bertanya-tanya apakah dia sudah kembali di barak. Ia menyangga tubuh dengan satu siku, waspada, mencari yang lain.

Ia berada di tempat lain. Dari kelihatannya, ia berada di sebuah ruangan batu yang sangat rumit. Tampaknya seolah-olah ia berada di sebuah kastil. Sebuah kastil kerajaan.

Sebelum ia bisa mengetahui semuanya, sebuah pintu kayu ek besar terbuka dan Reece melangkah masuk. Di kejauhan, Thor bisa mendengar suara rendah orang banyak.

“Akhirnya, ia kembali,” Reece mengumumkan dengan sebuah senyum, saat dia segera maju, menggengam tangan Thor, dan menariknya berdiri.

Thor mengangkat sebelah tangan ke kepalanya, mencoba untuk meredakan sakit kepala hebat akibat berdiri terlalu cepat.

“Ayo, mari kita pergi, semua orang menunggumu,” ajaknya, menarik Thor.

“Tunggu sebentar, tolong,” kata Thor, mencoba mengumpulkan dirinya sendiri. “Di mana aku? Apa yang terjadi?”

“Kita kembali di Istana Raja – dan kau akan dirayakan sebagai pahlawan besar!” kata Reece dengan gembira, sebagaimana mereka menuju ke pintu.

“Pahlawan? Apa maksudmu? Dan…bagaimana aku bisa sampai di sini?” tanyanya, mencoba untuk mengingat.

“Monster itu melemparmu. Kau telah pingsan selama beberapa waktu. Kami harus membawamu melintasi jembatan Canyon. Sangat dramatis. Tidak persis bagaimana aku mengharapkan kau kembali ke seberang!” katanya dengan sebuah tawa.

Mereka berjalan ke koridor kastil, dan saat mereka sampai, Thor bisa melihat segala macam orang – wanita, pria, pangawal, penjaga, ksatria – memandanginya, seolah-olah mereka telah menunggunya sadar. Ia juga melihat sesuatu yang baru dalam mata mereka, sesuatu seperti rasa hormat. Itu adalah pertama kali ia melihatnya. Sampai sekarang, hampir semua orang melihatnya seperti meremehkan – sekarang mereka melihatnya seolah-olah ia salah satu dari mereka.

“Apa yang sesungguhnya terjadi?” Thor memutar otak, berusaha mengingat.

“Tidakkah kau mengingat apapun?” tanya Reece.

Thor mencoba untuk berpikir.

“Aku ingat berlari ke dalam hutan. Melawan monster itu. Dan kemudian…” Ia tidak mengingat apa-apa.

“Kau menyelamatkan hidup Elden,” kata Reece. “Kau berlari tanpa rasa takut ke dalam hutan, sendirian. Aku tidak tahu kenapa kau membuang energi menyelamatkan orang angkuh itu. Tapi kau melakukannya. Raja sangat amat bangga terhadapmu. Bukan karena kau peduli terhadap Elden. Tapi ia sangat menghargai keberanianmu. Ia ingin merayakannya. Itu adalah penting untuknya, untuk merayakan kisah-kisah seperti ini, untuk menginspirasi orang lain. Dan ini mencerminkan kebaikan pada Raja, dan pada Legiun. Ia ingin merayakannya. Kau ada di sini karena ia akan memberimu hadiah.”

“Memberiku hadiah?” tanya Thor, tercengan. “Tapi aku tidak melakukan apapun!”

“Kau menyelamatkan nyawa Elden.”

“Aku hanya bereaksi. Aku hanya melakukan apa yang terjadi secara alami.”

“Dan itulah sesungguhnya mengapa Raja ingin memberimu hadiah.”

Thor merasa malu. Ia tidak merasa tindakannya berhak dihargai. Meski demikian, jika bukan karena Erec, Thor pasti sudah mati sekarang. Ia berharap bahwa suatu hari ia bisa membalasnya.

“Tapi bagaimana dengan tugas patroli?” tanya Thor. “Kita tidak menyelesaikannya.”

Reece meletakkan tangan di bahunya untuk menenangkan.

“Kawan, kau menyelamatkan nyawa seorang laki-laki. Seorang anggota Legiun. Itu lebih penting dibandingkan patroli kita.” Reece tertawa. “Biasanya patroli pertama berjalan tanpa kejadian berarti!” tambahnya.

Pada ujung koridor lain, dua penjaga membuka pintu bagi mereka, dan Thor berkedip dan mendapati dirinya di ruang kerajaan. Pasti ada seratus ksatria berdiri di sekitar ruang, dengan langit-langit katedral yang menjulang, kaca patri, dan senjata dan baju zirah tergantung di mana-mana di dinding seperti piala. Balai Senjata. Itu adalah tempat di mana semua pejuang terbesar bertemu, semua anggota Perak. Hati Thor berpacu sambil mengamati dinding, semua persenjataan yang terkenal, baju besi ksatria heroik dan legendaris. Thor telah mendengar desas-desus tentang tempat ini sepanjang hidupnya. Sudah mimpinya untuk melihat dirinya sendiri suatu hari nanti. Biasanya tidak ada pengawal yang diizinkan di sini - tak seorang pun kecuali anggota Perak.

 

Bahkan yang lebih mengejutkan, saat ia masuk, ksatria yang sebenarnya berbalik dan menatapnya – kepadanya - dari semua sisi. Dan mereka mengenakan penampilan mengagumkan. Thor belum pernah melihat begitu banyak ksatria dalam satu ruangan, dan tidak pernah merasa begitu diterima. Rasanya seperti berjalan ke dalam mimpi. Terutama karena beberapa saat sebelumnya, ia telah tertidur pulas.

Reece pasti telah menyadari wajah tercengang Thor.

“Yang terbaik dari anggota Kesatuan Perak telah berkumpul di sini untuk menghormatimu.”

Thor merasakan dirinya beruntung dengan bangga dan ketidakpercayaan. “Menghormati saya? Tapi saya tidak melakukan apapun.”

“Tidak benar,” ujar sebuah suara.

Thor berbalik dan merasakan sebuah tangan yang berat di pundaknya. Itu adalah Erec, menyeringai ke arahnya.

“Kau telah menampilkan keberanian dan kemuliaan dan kegagahan, melampaui apa yang diharapkan darimu. Kau hampir menyerahkan hidupmu untuk menyelamatkan teman-temanmu. Itulah yang kami cari dalam Legiun, dan inilah apa yang kami cari dalam Kesatuan Perak.”

“Anda menyelamatkan hidup saya,” kata Thor pada Erec. “Jika itu bukan karena Anda, monster itu telah membunuh saya. Saya tidak tahu cara untuk berterima kasih.”

Erec menyeringai padanya.

“Kau sudah melakukannya,” jawabnya. “Tidakkah kau ingat duel itu? Aku percaya kita sudah impas.”

Thor

“You already have,” he answered. “Don’t you remember the joust? I believe we are even.”

Thor berbaris menyusuri jalan menuju singgasana Raja MacGil, di ujung aula, Reece di satu sisi dia dan Erec di sisi lain. Dia merasa ratusan mata menatapnya, dan itu semua terasa seperti mimpi.

Berdiri di sekitar Raja adalah puluhan penasihatnya, bersama dengan putra tertuanya, Kendrick. Ketika Thor mendekat, hatinya dipenuhi rasa bangga. Dia hampir tak percaya Raja menghadiahinya di hadapan khalayak lagi - dan bahwa begitu banyak orang penting berada di sini untuk menyaksikannya.

Mereka mencapai singgasana Raja. MacGil berdiri, dan keheningan teredam melanda ruang. Ekspresi membosankan MacGil buyar menjadi senyum lebar, saat ia mengambil tiga langkah maju dan yang mengejutkan Thor, ia memeluknya.

Sorak-sorai melanda ruangan itu.

Ia mundur, memegang Thor dengan kuat di bahunya, dan menyeringai lebar.

“Kau mengabdi pada Legiun dengan baik,” katanya.

Seorang pelayan menyerahkan cangkir piala pada Raja, saat Raja berdiri. Dengan suara lantang, ia berseru:

“UNTUK KEBERANIAN!”

“UNTUK KEBERANIAN!” teriak kembali ratusan orang di dalam ruangan. Diikuti gumaman yang bersemangat, kemudian ruang itu menjadi tenang lagi.

"Untuk menghormati perbuatan beranimu hari ini," Raja berseru, "Aku berikan kau sebuah hadiah besar."

Raja member isyarat, dan seorang pengiring melangkah maju, mengenakan sarung tangan hitam panjang, di mana duduk elang yang luar biasa. Elang itu menoleh dan langsung menatap Thor - seolah-olah ia mengenalnya.

Thor menahan napas. Itu adalah elang yang persis sama dengan mimpinya, dengan tubuh perak dan satu garis hitam membujur di keningnya.

“Elang adalah simbol kerajaan kita, dan keluarga Kerajaan kita,” MacGil mengumumkan. “Ini adalah seekor burung pemangsa, kebanggaan dan kehormatan. Ini juga adalah burung yang terampil dan cerdik. Burung ini setia, dan ganas, dan terbang tinggi di atas hewan lain. Ini juga merupakan makhluk suci. Dikatakan bahwa siapa yang memiliki elang juga dimiliki oleh elang itu. Burung ini akan membimbingmu di semua perjalananmu. Elang ini akan meninggalkanmu, tapi akan selalu kembali. Dan sekarang, ini adalah milikmu.”

Pawang elang itu melangkah maju, meletakkan sarung tangan berantai besi yang berat ke tangan dan pergelangan tangan Thor, lalu menaruh burung itu di situ. Thor merasa tersengat, membawa burung itu di tangannya. Ia sangat sulit bergerak. Ia terkejut oleh beratnya; adalah sebuah perjuangan hanya untuk membuatnya tenang karena burung itu gelisah di pergelangan tangannya. Ia merasakan cakarnya menusuk, meski untungnya ia hanya merasakan tekanan, karena ia dilindungi oleh sarung tangan itu. Burung itu berpaling, menatap langsung padanya,dan memekik. Thor merasa burung itu menatap matanya, dan ia merasakan hubungan mistis dari hewan itu. Ia menyadari burung itu akan bersamanya sepanjang hidupnya.

“Dan nama apakah yang akan kau berikan padanya?” tanya Raja, dalam keheningan ruangan itu.

Thor memutar otaknya, yang sangat beku untuk bekerja.

Ia mencoba memikirkannya dengan cepat. Ia menyebutkan dalam pikirannya semua nama dari semua ksatria termashyur di kerajaan. Ia berpaling dan mencari-cari di dinding, dan melihat serangkaian plakat dengan semua nama peperangan, semua lokasi kerajaan. Matanya tertuju pada tempat itu. Itu adalah sebuah tempat dalam Kerajaan yang belum pernah ia kunjungi, tapi selalu ia dengan sebagai suatu tempat yang mistis dan hebat. Nama itu kelihatannya tepat untuknya.

“Aku akan memanggilnya Estopheles,” serunya Thor.

“Estopheles!” ulang kerumunan itu, terdengar puas.

Elang itu memekik seolah-olah menjawabnya.

Tiba-tiba, Estopheles mengepakkan sayapnya dan terbang tinggi, sepanjang jalan ke puncak atap katedral, dan keluar ke jendela yang terbuka. Thor melihatnya pergi.

“Jangan kuatir,” kata pawang elang itu, “ia akan selalu kembali padamu.”

Thor berpaling dan menatap Raja. Ia tidak pernah diberi sebuah hadiah sepanjang hidupnya, apalagi dari sosok Raja ini. Ia tidak tahu harus berkata apa, bagaimana berterima kasih padanya. Ia terpana.

“Yang Mulia,” katanya, menundukkan kepalanya. “Saya tidak tahu cara untuk berterima kasih.”

“Kau sudah melakukannya,” kata MacGil.

Kerumunan bersorak, dan ketegangan dalam ruangan itu telah terpecahkan. Percakapan penuh semangat berlangsung di antara para pria, dan begitu banyak ksatria yang mendekati Thor, ia sangat sulit menemukan jalan mana untuk berbalik.

“Itu adalah Algod, dari Provinsi Timur,” kata Reece, memperkenalkannya pada seseorang.

“Dan ini adalah Kamera, dari Low Marshes…. Dan ini, Basikold, dari Benteng Utara….”

Tidak lama lagi, nama-nama akan memudar. Thor terlalu berlebihan, ia sangat sulit memercayai bahwa semua ksatria ini ingin bertemu dengannya. Ia tidak pernah merasa sangat diterima atau dihormati sepanjang hidupnya dan ia memiliki suatu perasaan bahwa hari seperti itu tak akan pernah datang kembali. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya ia memiliki perasaan bermartabat.

Dan ia tidak bisa berhenti memikirkan Estopheles.

Ketika Thor berpaling ke segala arah, menyambut orang-orang yang namanya terus mengalir, nama-nama yang sulit ia ingat, seorang pembawa pesan bergegas mendekati, menyelinap di antara para ksatria. Ia membawa sebuah gulungan kecil, yang ia tekankan ke dalam telapak tangan Thor.

Thor membukanya dan membaca tulisan tangan yang indah dan lembut:

Temui aku di halaman belakang. Di balik gerbang.

Thor bisa mencium wewangian lembut yang berasal dari gulungan merah muda itu, dan bingung saat ia mencoba untuk menerka dari siapa gulungan itu berasal. Sama sekali tidak ada tanda tangan.

Reece mencondongkan badan, membaca melalui bahunya, dan tertawa.

“Sepertinya kakak perempuanku telah terpikat padamu,” katanya, tersenyum. “Aku akan pergi jika aku jadi kau. Ia tidak suka dibiarkan menunggu.”

Thor merasa dirinya merona.

“Halaman belakang lewat gerbang itu. Cepat. Dia dikenal suka berubah pikiran dengan cepat.” Reece tersenyum saat ia menatapnya. “Dan aku akan sangat senang bisa memilikimu sebagai keluargaku.”

BAB SEMBILAN BELAS

Thor mencoba mengikuti petunjuk Reece begitu ia menemukan jalan untuk keluar dari kerumunan di kastil, namun hal itutak mudah. Kastil ini punya banyak kelokan dan tikungan, terlalu banyak pintu belakang, dan terlalu banyak koridor yang mengarah ke koridor lainnya.

Ia mengingat petunjuk Reece di kepalanya ketika ia melangkah menuruni sebuah anak tangga kecil, belok ke sebuah koridor lain dan akhirnya berhenti di sebuah pintu lengkung kecil dengan gagang berwarna merah – seperti yang telah dikatakan Reece padanya – dan mendorongnya hingga terbuka.

Thor bergegas keluar dan diterpa cahaya benderang musim panas; rasanya nyaman berada di luar ruangan, keluar dari kastil yang dingin, menghirup udara segar, matahari menyinari wajahnya. Ia memincingkan mata, mencoba menyesuaikan matanya dalam cahaya terang, dan melihat sekeliling. Di depannya terhamparlah taman kerajaan, sejauh mata memandang tampaklah tanaman perdu dalam berbagai bentuk, membentuk sebuah lajur yang rapi, dengan jalan kecil membelahnya. Ada beberapa air mancur, pepohonan unik, kebun buah dengan buah-buahan musim panas yang ranum. Panorama itu membuatnya takjub. Ia merasa seperti sedang berjalan di dalam sebuah lukisan.

Thor memandang sekeliling mencari pertanda kehadiran Gwendolyn, hatinya berdebar. Halaman belakang istana itu tampak kosong, dan Thor mengira bahwa tempat itu khusus bagi anggota keluarga kerajaan, terpencil dari jangkauan khalayak dengan dinding batu taman yang tinggi. Sekali lagi, ia memandang sekeliling dan tak dapat menemukannya.

Ia bertanya-tanya, mungkinkan undangannya hanya sebuah tipuan. Mungkin begitu. Mungkin ia hanya ingin menggodanya, si bocah desa, menyenangkan dirinya sendiri dengan rasa malu yang ditanggung Thor. Lagipula, bagaimana bisa seseorang berkedudukan sepertinya memiliki rasa tertarik terhadapnya?

Thor memandang sekeliling dan membaca undangannya lagi, kemudian menggulungnya kembali dengan malu. Ia tekah dipermainkan. Betapa tololnya ia karena telah berpengharapan setinggi itu. Dan hal itu cukup menyakitkannya.

Thor berbalik dan bersiap untuk kembali ke kastil, kepalanya menunduk. Begitu ia hendak meraih gagang pintu, terdengarlah sebuah suara.

“Kau mau ke mana?” ujar sebuah suara dengan riang. Suara itu terdengar seperti nyanyian burung.

Thor tak yakin jika ia pernah membayangkannya. Ia berbalik, mencari asal suara, dan di sanalah ia, duduk di bawah bayangan tembok kastil. Ia balas tersenyum, mengenakan busana bangsawan terbaik, gaun satin putih berlapis dengan tepian berwarna merah jambu. Ia bahkan nampak lebih cantik daripada yang dapat ia ingat.

Itulah dia. Gwendolyn. Gadis yang ia impikan sejak hari pertama pertemuan mereka, dengan mata lebar berwarna biru dan rambut stroberi, dengan senyum yang mencerahkan hatinya. Ia mengenakan topi berwarna putih dan merah jambu besar, melindunginya dari panas matahari, di bawahnya matanya tampak berkilauan. Untuk sesaat ia merasa harus membalikkan badan untuk memastikan bahwa tak ada orang lain berdiri di belakang mereka.

“Eh …” Thor mulai bicara. “Aku .. eh … tidak tahu. Aku … eh … tadi mau masuk ke dalam.”

Sekali lagi, ia menemukan dirinya gugup di hadapannya, merasa sulit mengumpulkan pikirannya dan menyusunnya.

Ia tertawa, dan itu adalah suara terindah yang pernah didengarnya.

“Dan mengapa kau melakukannya?” tanyanya, menggoda. “Kau baru saja sampai.”

Thor gugup. Lidahnya terasa kelu.

“Aku .. eh .. tak menemukanmu,” jawabnya malu.

Ia tertawa lagi.

“Nah, aku di sini. Mengapa kau tak akan kemari dan mendekatiku?”

Ia mengangkat salah satu tangannya; Thor berjalan ke arahnya, mengulurkan tangan dan meraihnya. Ia merasa takjub oleh sentuhan kulitnya, sangat halus dan lembut, tangannya tergenggam dengan sempurna olehnya. Ia melihat ke arahnya dan membiarkan tangannya begitu untuk beberapa saat, sebelum kemudian menariknya perlahan. Ia menyukai sentuhan jari gadis itu di dalam tangannya dan berharap ia tak akan pernah menarik jemarinya.

Ia menarik tangannya, kemudian melingkarkan lengannya ke lengan Thor, menggandengnya. Ia mulai berjalan, mengajaknya berjalan menyusuri sejumlah jalan kecil terbuka. Mereka berjalan di sepanjang jalur kecil berbatu, dan kemudian mereka berada di dalam labirin semak-semak, terlindung dari pandangan orang.

Thor meras gugup. Mungkin ia, orang dusun, akan mendapatkan masalah karena berjalan bersama putri Sang Raja. Ia merasa butir keringat meluncur turun di dahinya, dan tak tahu apakah itu berasal dari panasnya cuaca atau karena sentuhan gadis itu.

Ia tak tahu apa yang harus dikatakannya.

“Kau baru saja membuat sebuah kekacauan disini ya?” kata Gwen sambil tersenyum. Ia merasa lega akhirnya gadis itu mulai memecahkan keheningan yang janggal.

 

Thor menunduk. “Maaafkan aku. Aku tak bermaksud demikian.”

Ia tertawa. “Mengapa begitu? Bukankah menyenangkan rasanya membuat kekacauan?”

Thor merasa bingung. Ia tak tahu lagi bagaimana harus menjawab. Semua yang dikatakannya selalu salah.

“Lagipula tempat ini kaku dan membosankan,” katanya. “Senang rasanya ada seorang pendatang baru. Ayahku tampaknya sangat suka padamu. Begitu juga adikku.”

“Eh .. terima kasih,” jawab Thor.

Thor telah menyumpahi dirinya sendiri dalam hati. Ia tahu ia sebaiknya mengatakan sesuatu yang lain, dan ia ingin melakukannya. Ia hanya tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

“Apakah kau ..” ia mulai memeras otaknya, mencari sesuatu yang tepat untuk dikatakan. “ .. suka di sini?”

Ia menarik tubuhnya dan tertawa.

“Apakah aku suka di sini?” tanyanya. “Kuharap begitu. Aku tinggal di sini!”

Ia tertawa lagi dan Thor merasa wajahnya memerah. Ia merasa bahwa dirinya telah benar-benar mengacaukan segalanya. Ia tidak populer di antara para gadis, tak pernah punya teman perempuan di desanya, dan tak tahu apa yang harus ia katakan kepadanya. Apa yang sebaiknya ia tanyakan padanya? Dari mana asalmu? Ia sudah tahu dari mana ia berasal. Ia mulai bertanya-tanya mengapa ia mendekatinya; apakah hanya sebagai permainan untuknya?

“Mengapa kau suka padaku?” tanyanya.

Ia menatap ke arahnya, dan bersuara lucu.

“Kau lancang,” ia tertawa kecil. “Siapa yang bilang aku suka padamu?” ia bertanya dengan senyuman mengembang. Sudah jelas, semua yang ia katakan membuatnya geli.

Kini Thor merasa ia telah menempatkan dirinya dalam masalah besar.

“Maafkan aku. Aku tak bermaksud mengatakan itu. Aku hanya heran. Maksudku … eh … Aku tahu kau tidak suka padaku.”

Ia tertawa lebih keras.

“Kau itu menggelikan. Aku harus katakan itu tentangmu. Kukira kau tak pernah punya pacar ‘kan?”

Thor menunduk dan menganggukkan kepalanya dengan malu.

“Aku pikir kau juga tak punya saudara perempuan juga, kan?” tegasnya.

Thor menganggukkan kepalanya.

“Aku punya tiga kakak laki-laki,” semburnya. Akhirnya, ia dapat mengatakan sesuatu yang wajar.

“Benarkah?” tanyanya. “Dan dimana mereka? Di desamu?”

Thor menggelengkan kepalanya. “Tidak, mereka ada di sini, di Legiun, bersamaku.”

“Wah, pasti menyenangkan.”

Thor menggelengkan kepalanya.

“Tidak. Mereka tidak suka padaku. Mereka berharap aku tak ada di sini.”

Itulah pertama kalinya senyum gadis itu menghilang.

“Dan mengapa mereka tidak menyukaimu?” ia bertanya, heran. “Kakakmu sendiri?”

Thor mengangkat bahunya. “Kuharap aku tahu sebabnya.”

Mereka berjalan beberapa saat dalam keheningan. Ia mendadak takut telah memusnahkan suasana riang di antara mereka.

“Tapi jangan khawatir, itu bukan masalah untukku. Memang sudah seperti itu dari dulu. Aku berjumpa dengan teman-teman baik di sini. Teman paling baik daripada yang pernah aku punya.”

“Adikku, Reece?”tanyanya.

Thor mengangguk.

“Reece memang baik,” katanya. “Dia adalah kesayanganku untuk beberapa hal. Aku punya empat saudara laki-laki. Tiga saudara kandung, dan satu lagi tidak. Kakak sulungku adalah putra ayahku dengan wanita lain. Separuh saudara kandung. Kau tahu Kendrick ‘kan?”

Thor mengangguk. “Aku berhutang besar padanya. Berkat dialah aku punya tempat dalam Legiun. Ia adalah seorang pria yang baik.”

“Memang. Ia adalah salah satu yang terbaik di kerajaan. Aku menyayanginya seperti saudara kandungku sendiri. Kemudian Reece yang juga aku sayangi. Sedangkan dua orang lainnya .. yah .. Kau tahu bagaimana keluarga. Tak setiap orang bisa cocok. Kadang aku heran bagaimana bisa kami semua dilahirkan oleh orang-orang yang sama.”

Kini Thor merasa ingin tahu, Ia ingin tahu lebih jauh tentang siapa mereka, bagaimana hubungannya dengan mereka, mengapa mereka tidak akrab. Ia ingin menanyakan hal itu padanya, namun ia tidak ingin mengungkitnya. Dan ia tampak tak terlalu memikirkannya. Ia kelihatannya seorang pribadi yang ceria, seseorang yang hanya suka membicarakan hal-hal yang menyenangkan.

Ketika mereka telah melewati jalan kecil labirin, halaman istana tersambung ke sebuah taman lain, dimana rerumputan dipotong dan dibentuk menjadi berbagai bentuk. Itu adalah sejenis papan permainan berukuran besar, dengan jarak kurang lebih lima puluh kaki pada masing- masing arah, dengan benda-benda kayu besar, lebih tinggi daripada Thor, diletakkan secara menyebar.

Gwen berseru kegirangan.

“Kau mau bermain?” tanyanya.

“Apa itu?” tanyanya.

Ia membalikkan tubuh, matanya melebar dengan gembira.

“Kau tak pernah bermain Racks?” tanyanya.

Thor menggelengkan kepalanya, merasa malu, merasa dirinya kampungan lebih daripada sebelumnya.

“Ini adalah permainan terbaik!” jelasnya.

Ia mengulurkan kedua tangannya dan meraih tangan Thor, membawanya ke lapangan. Ia melompat-lompat kecil dengan riang; Thor tak bisa menahan senyumannya. Lebih dari segalanya, lebih daripada lapangan ini, lebih dari tempat yang indah ini, adalah sentuhan tangan gadis itu padanya yang membuatnya bahagia. Kebahagiaan karena dirinya diinginkan. Gadis itu ingin Thor pergi bersamanya. Ia ingin menghabiskan waktu bersamanya. Mengapa ada seseorang yang begitu memperhatikannya? Apalagi seseorang yang seperti dirinya? Ia masih merasa semua ini adalah mimpi.

“Berdiri di sana,” katanya. “Di belakang benda itu. Kau harus memindahkannya, dan kau hanya punya waktu sepuluh detik.”

“Apa yang kau maksud dengan menggerakkannya?” tanya Thor.

“Tentukan arah, cepat!” serunya.

Thor mengambil sepotong balok kayu yang besar, terkejut dengan beratnya. Ia membawanya beberapa langkah, dan kemudian meletakkannya di sebuah kotak lain.

Tanpa keraguan, Gwen mendorong balok kayunya. Ia mengarahkannya ke balok Thor dan menjatuhkannya ke tanah.

Ia berteriak kegirangan.

“Itu adalah langkah yang buruk!” katanya. “Kau menghalangi jalanku! Kau kalah!”

Thor menatap dua balok yang bergelipangan di tanah, bingung. Ia tak paham tentang permainan ini sama sekali.

Ia tertawa, menggandeng tangannya kembali menuju jalan kecil.

“Jangan khawatir, aku akan mengajarimu,” katanya.

Hati Thor melambung mendengar kata-katanya. Ia akan mengajari Thor. Ia ingin berjumpa dengannya lagi. Untuk menghabiskan waktu bersamanya. Apakah ia memimpikan hal ini?

“Katakan padaku, apa menurutmu tentang tempat ini?” ia bertanya sambil menggandengnya menuju bagian lain dari labirin. Bagian ini dihiasi oleh bunga yang tingginya delapan kaki, memiliki aneka warna menyala, sejenis serangga yang asing terbang di sekitar pucuknya.

“Ini adalah tempat terindah yang pernah aku lihat.” Thor menjawabnya sungguh-sungguh.

“Dan mengapa kau ingin menjadi anggota Legiun?”

“Itu adalah hal yang selalu aku impikan,” jawabnya.

“Tapi mengapa?” tanya gadis itu. “Karena kau ingin mengabdi pada ayahku?”

Thor memikirkan pertanyaan itu. Ia tak pernah bertanya pada dirinya sendiri apa alasannya – keinginan itu muncul begitu saja.

“Ya,” jawabnya. “Itu benar. Dan juga pada Cincin.”

“Tapi bagaimana dengan kehidupanmu?” tanyanya. “Apakah kau tak ingin punya keluarga? Tanah? Seorang istri?”

Gadis itu berhenti dan memandang ke arahnya; hal itu membuatnya terpojok. Pertanyaan itu membuatnya sedih. Ia tak pernah memikirkan hal-hal semacam ini sebelumnya, dan tak tahu bagaimana menjawabnya. Matanya bersinar ketika ia menatap Thor.

“Eh .. Aku .. Aku tidak tahu. Aku belum pernah memikirkannya.”

“Dan apa yang pernah dikatakan ibumu tentang hal itu?” tanyanya iseng.

Senyum Thor memudar.

“Aku tak punya ibu,” katanya.

Senyum Gwen kembali menghilang.

“Apa yang terjadi padanya?” tanyanya.

Thor ingin mengatakan jawabannya, mengatakan kepadanya tentang segalanya. Itu adalah saat ketika ia hendak mengatakan sesuatu tentang ibunya kepada seseorang untuk pertama kalinya. Dan hal gila lainnya adalah, ia ingin mengatakannya. Ia sangat ingin mengatakan yang sejujurnya kepada gadis itu, orang asing itu, dan membuatnya mengetahui segalanya tentang perasaan dari lubuk hatinya yang terdalam.

Купите 3 книги одновременно и выберите четвёртую в подарок!

Чтобы воспользоваться акцией, добавьте нужные книги в корзину. Сделать это можно на странице каждой книги, либо в общем списке:

  1. Нажмите на многоточие
    рядом с книгой
  2. Выберите пункт
    «Добавить в корзину»