Бесплатно

Penjelmaan

Текст
Из серии: Jurnal Vampir #1
0
Отзывы
iOSAndroidWindows Phone
Куда отправить ссылку на приложение?
Не закрывайте это окно, пока не введёте код в мобильном устройстве
ПовторитьСсылка отправлена
Отметить прочитанной
Шрифт:Меньше АаБольше Аа

penjelmaan

(buku #1 dalam buku harian vampir)

morgan rice

Tentang Morgan Rice

Morgan Rice adalah penulis terlaris #1 dari BUKU HARIAN VAMPIR, seri remaja yang terdiri dari sebelas buku (dan terus bertambah); seri THE SURVIVAL TRILOGY (TRILOGI KESINTASAN, sebuah thriller pasca-apokaliptik yang terdiri dari dua buku (dan terus bertambah); dan seri epik fantasi terlaris #1 CINCIN BERTUAH, yang terdiri dari tiga belas buku (dan terus bertambah).

Buku-buku Morgan tersedia dalam edisi audio dan cetak, dan terjemahan dari buku-buku ini tersedia dalam bahasa Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, Portugis, Jepang, Tiongkok, Swedia, Belanda, Turki, Hungaria, Ceko dan Slowakia (dengan lebih banyak bahasa yang akan datang).

PENJELMAAN (Buku #1 dalam Buku Harian Vampir), ARENA SATU (BUKU #1 DARI TRILOGI KESINTASAN) dan PETUALANGAN PARA PAHLAWAN (Buku #1 dalam CINCIN BERTUAH) masing-masing tersedia sebagai unduhan gratis di Google Play!

Morgan ingin mendengar pendapat Anda, jadi jangan ragu untuk mengunjungi www.morganricebooks.com untuk bergabung di daftar e-mail, menerima buku gratis, menerima hadiah gratis, mengunduh aplikasi gratis, mendapatkan berita eksklusif terbaru, terhubung ke Facebook dan Twitter, dan tetap terhubung!

Pujian Pilihan untuk Penjelmaan

"PENJELMAAN adalah suatu kisah yang ideal bagi para pembaca muda. Morgan Rice melakukan pekerjaan yang bagus dengan memutarbalikkan lika-liku yang menarik tentang apa yang bisa menjadi kisah vampir yang khas. Menyegarkan dan unik, PENJELMAAN memiliki elemen klasik yang ditemukan dalam berbagai cerita paranormal Dewasa Muda. Buku #1 dari Serial Buku Harian Vampir yang berfokus di sekitar seorang anak perempuan… anak perempuan yang luar biasa!... PENJELMAAN mudah dibaca tapi bertempo cepat... Direkomendasikan untuk siapa saja yang suka membaca romansa paranormal yang halus. Diberi peringkat PG."

--The Romance Reviews

“PENJELMAAN mencuri perhatian saya dari awal dan tidak dapat lepas….Kisah ini merupakan sebuah petualangan menakjubkan yang bertempo cepat dan action yang dikemas sejak permulaan. Tidak ditemukan momen yang membosankan. Morgan Rice melakukan pekerjaan yang luar biasa dengan membawa pembaca ke dalam kisah. Dia juga membuatnya mudah untuk menanamkan Caitlin dan ingin dengan sekuat tenaga agar berhasil menemukan kebenaran tentang dirinya... Saya menantikan buku kedua dalam serial ini."

--Paranormal Romance Guild

"PENJELMAAN menyenangkan, sederhana, bacaan hitam yang bisa Anda baca di antara buku-buku lain, karena buku ini singkat... Anda pasti akan terhibur!"

--books-forlife.blogspot.com

"PENJELMAAN adalah buku rival dari TWILIGHT dan VAMPIRE DIARIES, dan satu-satunya yang akan membuat Anda ingin tetap terus membacanya sampai halaman terakhir! Jika Anda menyukai petualangan, cinta dan vampir, buku inilah yang tepat bagi Anda!”

--Vampirebooksite.com

“Rice melakukan pekerjaan yang bagus mendorong Anda ke dalam kisah ini dari pertama, memanfaatkan kualitas deskriptif yang hebat yang melampaui penggambaran setting… Ditulis dengan indah dan sangat cepat dibacanya, PENJELMAAN adalah awal yang bagus menuju serial vampir baru yang akan menjadi hit bagi pembaca yang mencari cerita yang ringan tapi menghibur.”

--Black Lagoon Reviews

Buku-buku oleh Morgan Rice

CINCIN BERTUAH

PETUALANGAN PARA PAHLAWAN (Buku #1)

BARISAN PARA RAJA (Buku #2)

A FATE OF DRAGONS/TAKDIR NAGA (Buku #3)

A CRY OF HONOR/PEKIK KEMULIAAN (Buku #4)

A VOW OF GLORY/IKRAR KEMENANGAN (Buku #5)

A CHARGE OF VALOR/PERINTAH KEBERANIAN (Buku #6)

A RITE OF SWORDS/RITUAL PEDANG (Buku #7)

A GRANT OF ARMS/HADIAH PERSENJATAAN (Buku #8)

A SKY OF SPELLSLANGIT MANTRA (Buku #9)

A SEA OF SHIELDS/LAUTAN PERISAI (Buku #10)

A REIGN OF STEEL/TANGAN BESI (Buku #11)

A LAND OF FIREDARATAN API (Buku #12)

A RULE OF QUEENS/SANG RATU (Buku #13)

AN OATH OF BROTHERS/SUMPAH PARA SAUDARA (Buku #14)

THE SURVIVAL TRILOGY (TRILOGI KESINTASAN)

ARENA ONE: SLAVERSUNNERS/ARENA SATU: BUDAK-BUDAK SUNNER (Buku #1)

ARENA TWO/ARENA DUA (Buku #2)

BUKU HARIAN VAMPIR

PENJELMAAN (Buku #1)

LOVED/CINTA (Buku #2)

BETRAYED/KHIANAT (Buku #3)

DESTINED/TRAKDIR (Buku #4)

DESIRED/DIDAMBAKAN (Buku #5)

BETROTHED/TUNANGAN (Buku #6)

VOWED/SUMPAH (Buku #7)

FOUND/DITEMUKAN (Buku #8)

RESURRECTED/BANGKIT KEMBALI (Buku #9)

CRAVED/RINDU (Buku #10)

FATED/NASIB (Buku #11)

Unduh buku-buku Morgan Rice di Play sekarang!

Dengarkan serial BUKU HARIAN VAMPIR dalam format buku audio!

Sekarang tersedia di:

Amazon

Audible

iTunes

Hak cipta © 2013 oleh Morgan Rice

Semua hak cipta dilindungi. Kecuali diizinkan di bawah U.S. Copyright Act of 1976 (UU Hak Cipta tahun 1976), tidak ada bagian dari buku ini yang bisa direproduksi, didistribusikan atau dipindahtangankan dalam bentuk apapun atau dengan maksud apapun, atau disimpan dalam database atau sistem pencarian, tanpa izin sebelumnya dari penulis.

eBuku ini terlisensi untuk hiburan personal Anda saja. eBuku ini tidak boleh dijual kembali atau diberikan kepada orang lain. Jika Anda ingin membagi buku ini dengan orang lain, silahkan membeli salinan tambahan bagi tiap penerima. Jika Anda membaca buku ini dan tidak membelinya, atau tidak dibeli hanya untuk Anda gunakan, maka silahkan mengembalikannya dan membeli salinan milik Anda sendiri. Terima kasih telah menghargai kerja keras penulis ini.

Ini adalah sebuah karya fiksi. Nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat/lokasi, acara, dan insiden adalah hasil karya imajinasi penulis atau digunakan secara fiksi. Setiap kemiripan dengan orang-orang yang sebenarnya, hidup atau mati, adalah sepenuhnya kebetulan.

Gambar Sampul ©iStock.com/Bliznetsov

"Apa itu jasmani

Untuk berjalan bebas dan menyedot cairan

Dari pagi yang lembab? Apa, apa Brutus sakit,

Dan akankah dia mencuri ranjangnya yang sehat

Dengan teganya menularkan kejinya malam?"

--William Shakespeare, Julius Caesar

DAFTAR ISI

Bab Satu

Bab Dua

Bab Tiga

Bab Empat

Bab Lima

Bab Enam

Bab Tujuh

Bab Delapan

Bab Sembilan

Bab Sepuluh

Bab Sebelas

Bab Dua Belas

Bab Tiga Belas

Bab Empat Belas

Bab Lima Belas

Bab Enam Belas

Bab Tujuh Belas

Bab Satu

Caitlin Paine selalu ketakutan hari pertamanya di sekolah yang baru. Ada hal-hal besar, seperti bertemu teman-teman baru, guru-guru baru, mempelajari aula yang baru. Dan ada hal-hal kecil, seperti mendapatkan sebuah loker baru, bebauan tempat yang baru, suara-suara yang terdengar. Lebih dari segalanya, ia takut terhadap tatapan. Ia merasa bahwa setiap orang di tempat baru selalu menatapnya. Yang ia inginkan hanyalah anonimitas. Tapi tampaknya itu tidak akan pernah terwujud.

 

Caitlin tidak dapat memahami mengapa ia sangat mencolok. Dengan tinggi 5,5 kaki ia tidak benar-benar tinggi, dan dengan rambut coklat dan mata coklatnya (dan berat yang normal), ia merasakan bahwa ia biasa saja. Pastinya tidak cantik, seperti cewek-cewek lainnya. Pada usia 18, ia sedikit lebih tua, tapi tidak cukup untuk membuatnya menonjol.

Ada sesuatu hal yang lain. Ada sesuatu tentang dirinya yang membuat orang-orang meilhat dua kali. Ia tahu, dalam hatinya, bahwa ia berbeda. Tapi ia tidak yakin apa itu.

Jika ada sesuatu hal yang lebih buruk ketimbang hari pertama, itu dimulai pada tengah semester, setelah orang lain punya waktu untuk menjalin ikatan. Hari ini, hari pertama ini, di pertengahan Maret, akan menjadi salah satu yang terburuk. Ia sudah bisa merasakannya.

Dalam imajinasi terliarnya, bagaimana pun juga, ia tidak pernah berpikiran akan seburuk ini. Tidak ada yang pernah ia lihat - dan sering ia lihat - telah mempersiapkan dirinya untuk ini.

Caitlin berdiri di luar sekolah barunya, sekolah umum Kota New York yang sangat luas, di pagi hari bulan Maret yang sangat dingin, dan bertanya-tanya, Kenapa aku? Cara berpakaiannya tidak menarik, hanya dalam sweater dan legging, dan bahkan tidak menyiapkan diri sebelumnya untuk keributan berisik yang menyambutnya. Ratusan remaja berdiri di sana, berteriak-teriak, menjerit, dan mendorong satu sama lain. Itu terlihat seperti sebuah halaman penjara.

Itu semua terlalu bising. Remaja-remaja ini tertawa terlalu kencang, mengumpat terlalu sering, mendorong satu sama lain terlalu keras. Ia akan berpikir itu adalah sebuah perkelahian besar jika ia tidak melihat beberapa senyum dan tawa mengejek. Mereka memiliki terlalu banyak energi, dan ia, lelah, kedinginan, kurang tidur, tidak bisa memahami dari mana energi itu datang. Ia menutup matanya dan berharap itu semua akan pergi.

Ia merogoh sakunya dan merasakan sesuatu: ipod-nya. Ya. Ia mengenakan headphone di telinganya dan menyalakannya. Ia harus menenggelamkan itu semua.

Tapi tidak ada yang datang. Ia memandang ke bawah dan melihat baterainya mati. Sempurna.

Ia memeriksa ponselnya, berharap akan adanya pengalih perhatian, apapun itu. Tidak ada pesan baru.

Ia mendongak. Mengamati lautan wajah baru, ia merasa sendirian. Tidak karena ia adalah satu-satunya cewek berkulit putih - ia sebenarnya lebih memilih hal itu. Beberapa teman-teman terdekatnya di sekolah lain berkulit hitam, berdarah Spanyol, Asia, India - dan beberapa dari musuh dalam selimutnya berkulit putih. Tidak, bukan itu. Ia merasa sendirian karena ini adalah kota. Ia berdiri di tengah-tengah beton. Sebuah bel nyaring telah berdering untuk mengizinkan ia masuk menuju "daerah rekreasi" ini, dan ia telah melewati melalui gerbang logam yang besar. Sekarang ia sudah masuk - terkurung oleh gerbang logam besar, diatapi oleh kawat berduri. Ia merasa seperti pergi menuju penjara.

Memandangi sekolah yang sangat besar, bar dan kurungan di semua jendela, tidak membuatnya merasa lebih baik. Ia selalu beradaptasi dengan mudah di sekolah barunya, besar dan kecil - tapi itu semua ada di pinggir kota. Mereka memiliki semua rerumputan, pepohonan, langit. Di sini, tidak ada hal lain selain kota. Ia merasa ia tidak dapat bernapas. Hal itu membuatnya ngeri.

Bel lain keras terdengar dan ia beringsut berjalan, bersama ratusan anak-anak, menuju pintu masuk. Ia terdesak secara kasar oleh seorang gadis besar, dan menjatuhkan buku hariannya. Ia mengambilnya (mengacaukan rambutnya), dan kemudian mendongak untuk melihat apakah gadis itu akan meminta maaf. Tapi ia tidak terlihat, karena telah melanjutkan perjalanan ke dalam kerumunan. Ia mendengar tawa, tapi tidak tahu apakah itu ditujukan padanya.

Ia mencengkeram buku hariannya, satu hal yang membuatnya bertahan. Buku itu telah berada bersamanya ke mana saja. Ia menyimpan catatan dan gambar pada setiap tempat yang ia kunjungi. Itu adalah sebuah peta perjalanan masa kanak-kanaknya.

Ia akhirnya mencapai pintu masuk, dan harus mendesak hanya untuk berjalan melewatinya. Rasanya seperti memasuki kereta pada jam sibuk. Ia berharap akan menjadi hangat ketika ia ada di dalam, tapi pintu terbuka di berlakangnya tetap meniupkan angin kencang ke punggungnya, membuat semakin dingin lagi.

Dua penjaga keamanan besar berdiri di pintu masuk, diapit oleh dua polisi New York City, seragam lengkap, senjata mencolok di sisi mereka.

"JALAN TERUS!" perintah salah satu dari mereka.

Ia tidak dapat mengerti mengapa kedua polisi bersenjata harus menjaga pintu masuk sebuah sekolah tinggi. Perasaan takutnya semakin besar. Perasaan itu lebih buruk ketika ia mendongak dan melihat bahwa ia harus melewati detektor lohan dengan keamanan bergaya bandara.

Empat polisi bersenjata lainnya di sisi lain detektor, bersama dengan dua penjaga keamanan lainnya.

"KOSONGKAN KANTONGMU!" bentak seorang petugas.

Caitlin memperhatikan remaja lain mengisi wadah plastik kecil dengan barang-barang dari saku mereka. Ia segera melakukan hal yang sama, memasukkan ipod, dompet, kunci-kuncinya.

Ia beringsut melalui detektor, dan sirene melengking.

"KAU!" bentak seorang petugas. "Minggir!"

Tentu saja.

Semua remaja memandanginya saat ia mengangkat tangannya, dan petugas itu mengarahkan pemindai genggam ke bagian atas dan bawah tubuhnya.

"Apakah kau mengenakan perhiasan?"

Ia meraba pergelangan tangannya, lalu garis lehernya, dan tiba-tiba teringat. Salibnya.

"Lepaskan," bentak petugas itu.

Itu adalah kalung nenek yang diberikan padanya sebelum beliau meninggal, salib kecil perak yang diukir dengan kata-kata dalam bahasa Latin yang tidak pernah beliau terjemahkan. Neneknya mengatakan itu adalah diwariskan oleh nenek beliau. Caitlin tidak terlalu religius, dan tidak benar-benar memahami apa makna semua itu, tapi ia tahu benda itu umurnya ratusan tahun, dan itu adalah benda miliknya yang sangat berharga.

Caitlin mengangkatnya dari bajunya, mengacungkannya, tapi tidak melepasnya.

"Saya lebih suka tidak melakukannya," jawabnya.

Petugas itu memandanginya, dengan tatapan sedingin es.

Tiba-tiba, terjadi keributan. Ada jeritan ketika seorang polisi mencengkram seorang remaja tinggi kurus dan mendorongnya ke dinding, mengeluarkan pisau kecil dari sakunya.

Panjaga itu pergi untuk membantu, dan Caitlin mempergunakan kesempatan itu untuk menyelusup dalam kerumunan yang bergerak menuju aula.

Selamat datang di sekolah umum New York, pikir Caitlin. Bagus.

Ia sudah menghitung hari-hari menuju kelulusannya.

*

Aula itu adalah aula paling luas yang pernah ia lihat. Ia tidak bisa membayangkan bahwa mereka akan dapat memenuhinya, tapi entah bagaimana mereka benar-benar memadatinya, dengan semua remaja yang berdesakan bahu ke bahu. Pasti ada ribuan remaja dalam aula ini, lautan wajah meregang tanpa akhir. Kebisingan di sini bahkan lebih parah, memantul di dinding, semakin pekat. Ia ingin menutup telinganya. Tapi ia bahkan tidak punya ruang bagi sikunya untuk mengangkat lengannya. Ia merasa klaustrafobia.

Lonceng berbunyi, dan energi itu bertambah.

Sudah terlambat.

Ia mencari-cari ruangan di kartunya lagi dan akhirnya menemukan ruangan itu di kejauhan. Ia mencoba untuk menyeruak di antara lautan tubuh, tapi tidak dapat menuju ke mana pun. Akhirnya, setelah beberapa kali berusaha, ia menyadari bahwa ia harus lebih agresif. Ia mulai menyikut dan mendesak. Satu tubuh pada satu waktu, ia memotong melewati semua remaja, menyeberangi aula yang luas, dan mendorong pintu berat supaya terbuka ke kelasnya.

Ia memberanikan diri atas semua pandangan karena ia, cewek baru, masuk terlambat. Ia membayangkan guru menyemprotnya karena mengganggu ruangan yang sunyi. Tapi ia terkejut menemukan bahwa itu tidak seperti bayangannya sama sekali. Ruangan ini, dirancang untuk 30 remaja tapi memuat 50, berdesakan. Beberapa remaja duduk di bangku mereka, dan yang lainnya berjalan di lorong, berseru dan berteriak satu sama lain. Ini adalah kekacauan.

Bel sudah berbunyi lima menit yang lalu, tapi guru itu, tidak rapi, mengenakan setelan kusut, bahkan belum memulai mengajar. Dia sebenarnya duduk dengan menaikkan kakinya di meja, membaca koran, mengabaikan siapa saja.

Caitlin berjalan mendekatinya dan meletakkan kartu identitas barunya di meja. Ia berdiri di sana dan menunggu dirinya untuk mendongak, tapi dia tidak melakukannya.

Ia akhirnya menelan ludah.

"Permisi."

Dia menurunkan korannya dengan enggan.

"Saya Caitlin Paine. Saya murid baru. Saya rasa saya harus memberikan ini pada Anda."

"Saya hanya guru pengganti," jawabnya, dan mengangkat korannya, menghalanginya.

Ia berdiri di sana, bingung.

"Jadi," ia bertanya, "....Anda tidak mengabsen?"

"Gurumu kembali di hari Senin," bentaknya. "Dia yang akan menanganinya."

Menyadari percakapan itu sudah selesai, Caitlin mengambil kembali kartu identitasnya.

Ia berbalik dan menghadapi ruangan itu. Kekacauan itu tidak berhenti. Jika ada anugerah yang menyelamatkan, setidaknya ia tidak mencolok. Tidak ada seorang pun di sini tampaknya peduli padanya, atau bahkan melihatnya sama sekali.

Di samping itu, mengamati ruangan penuh sesak benar-benar meruntuhkan syaraf: nampaknya tidak ada tempat tersisa untuk duduk.

Ia menguatkan dirinya dan; mencengkram buku hariannya, berjalan saat itu menuju lorong, mundur beberapa kali ketika ia berjalan di antara remaja-remaja nakal yang saling berteriak. Ketika ia sampai di belakang, ia akhirnya bisa melihat seluruh ruangan.

Tidak ada bangku kosong.

Ia berdiri di sana, merasa seperti orang bodoh, dan merasa para remaja lain mulai memperhatikan dirinya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia pasti tidak akan berdiri di sana sepanjang waktu, dan guru pengganti itu tidak nampak peduli sama sekali. Ia menoleh dan mencari lagi, mengamati dengan tidak berdaya.

Ia mendengar tawa dari beberapa lorong jauhnya, dan merasa yakin itu ditujukan padanya. Ia tidak berpakaian seperti para remaja ini, dan ia tidak terlihat seperti mereka. Pipinya memerah ketika ia mulai merasa benar-benar mencolok.

Tepat ketika ia bersiap-siap untuk keluar daru kelas itu, dan bahkan mungkin keluar dari sekolah ini, ia mendengar sebuah suara.

"Di sini."

Ia berbalik.

Di baris terakhir, di samping jendela, seorang remaja jangkung berdiri dari mejanya.

"Duduk," katanya. "Silahkan."

Ruangan itu agak sunyi ketika yang lainnya menunggu untuk melihat bagaimana ia akan bereaksi.

Ia berjalan ke arahnya. Ia mencoba untuk tidak memandang matanya - mata hijau besar yang bercahaya - tapi ia tidak bisa menahannya.

Dia ganteng. Ia memiliki kulit kuning langsat yang halus - ia tidak bisa mengatakan apakah dia Hitam, Spanyol, Putih, atau beberapa kombinasi - tapi ia tidak pernah melihat kulit halus dan lembut seperti itu, dilengkapi dengan garis rahang yang kaku. Rambutnya pendek dan berwarna coklat, dan tubuhnya kurus. Ada sesuatu tentang dirinya, sesuatu yang sangat tidak pada tempatnya. Dia kelihatan rapuh. Seorang seniman, mungkin.

Itu tidak seperti dirinya untuk terpesona dengan seorang laki-laki. Ia pernah melihat teman-temannya jatuh cinta, tapi ia tidak pernah benar-benar mengerti. Sampai saat ini.

"Di mana kau akan duduk?" tanyanya.

Ia mencoba mengendalikan suaranya, tapi tidak terdengar meyakinkan. Ia berharap dia bisa mendengar betapa gugupnya ia.

Ia tersenyum lebar, memperlihatkan gigi yang sempurna.

"Di sebelah sini," katanya, dan pindah ke kusen jendela besar, hanya beberapa kaki jauhnya.

Ia memandanginya, dan dia balas memandang padanya, mata mereka benar-benar tertambat. Ia mengatakan pada dirinya sendiri untuk memalingkan muka, tapi ia tidak bisa melakukannya.

"Terima kasih," ujarnya, dan dengan segera marah pada dirinya sendiri.

Terima kasih? Hanya itu saja yang kau bisa? Terima kasih!?

"Betul itu, Barrack!" teriak sebuah suara. "Berikan bangkumu cewek putih yang manis itu!"

Tawa mengikuti, dan kebisingan dalam ruangan itu tiba-tiba mulai lagi, sebagaimana setiap orang mengabaikan mereka lagi.

 

Caitlin melihatnya menundukkan kepalanya, malu.

"Barrack?" tanyanya. "Apakah itu namamu?"

"Tidak," jawabnya, wajahnya memerah. "Itu hanya bagaimana mereka memanggilku. Seperti pada Obama. Mereka kira aku seperti beliau."

Ia menatapnya dengan saksama dan menyadari bahwa ia memang seperti Obama.

"Itu karena aku separuh kulit hitam, sebagian kulit putih, dan sebagian dari Puerto Rico."

"Hm, aku kira itu pujian," katanya.

"Bukan dengan cara mereka mengatakannya," jawabnya.

Ia mengamati ketika dia duduk di kusen jendela, rasa percaya dirinya mengempis, dan ia bisa menyimpulkan bahwa dia orang yang sensitif. Bahkan rapuh. Dia bukan merupakan bagian kelompok remaja ini. Itu adalah hal yang gila, tapi ia hampir merasa protektif terhadap dia.

"Aku Caitlin," katanya, mengulurkan tangannya dan menatap matanya.

Ia mendongak, terkejut, dan senyumnya kembali.

"Jonah," jawabnya.

Ia menjabat tangannya dengan erat. Sensasi menggelitik menjalari lengannya saat ia merasakan kulit lembutnya menggenggam tanganya. Ia merasa meleleh ke dalam dirinya. Dia menahan genggaman tangannya beberapa detik lamanya, dan ia tidak dapat menahan untuk balas tersenyum.

*

Sisa pagi itu sudah kabur, dan Caitlin lapar pada saat ia sampai di kafetaria. Ia membuka pintu ganda dan terperangah oleh ruangan yang besar, kebisingan luar biasa atas apa yang nampaknya seperti ribuan remaja, semua berteriak. Itu seperti memasuki pusat kebugaran. Kecuali bahwa setiap dua puluh kaki di sana berdiri petugas keamanan, di lorong-lorong, mengamati dengan saksama.

Seperti biasanya, ia tidak punya gagasan ke mana harus pergi. Ia mencari-cari di ruangan besar itu, dan akhirnya menemukan sebuah tumpukan nampan. Ia mengambil satu, dan memasuki apa yang ia kira sebagai antrian makanan.

"Jangan memotongku, menyebalkan!"

Caitlin berbalik dan melihat seorang perempuan besar yang gemuk, setengah kaki lebih tinggi darinya, memandang dengan marah.

"Maafkan aku, aku tidak tahu-"

"Antrian di belakang sana!" bentak cewek lain, menunjuk dengan ibu jarinya.

Caitlin mencari dan melihat antrian itu memanjang paling tidak seratus remaja. Itu terlihat seperti antrian selama dua puluh menit.

Saat ia mulai menuju ke belakang antrian, seorang remaja di antrian mendorong yang lain, dan dia melayang di depannya, menubruk lantai dengan keras.

Remaja pertama melompat di atas yang lain dan mulai meninju wajahnya.

Kafetaria itu meledak dalam raungan kehebohan, ketika lusinan remaja berkumpul berkeliling.

"LAWAN! LAWAN!"

Caitlin mengambil beberapa langkah mundur, menyaksikan dalam kengerian pada peristiwa kejam di kakinya.

Empat petugas keamanan akhirnya datang dan melerai mereka, memisahkan dua remaja berlumuran darah dan menyeret mereka. Mereka tidak nampak terlihat tergesa-gesa.

Setelah Caitlin akhirnya mendapat makanan, ia memandang ke sekeliling ruangan, berharap ada tanda-tanda Jonah. Tapi ia tidak kelihatan di mana pun.

Ia berjalan di lorong, melewati meja demi meja, semua dipenuhi dengan remaja. Ada beberapa bangku kosong, dan satu-satunya yang kosong tidak nampak mengundang, bersebelahan dengan kumpulan teman yang besar.

Akhirnya, ia mengambil tempat duduk di sebuah meja kosong mengarah ke belakang. Hanya ada satu remaja sangat jauh di ujungnya, remaja laki-laki Tiongkok pendek yang lemah dengan sumpit, berpakaian dengan buruk, yang tetap menundukkan kepalanya dan berfokus pada makanannya.

Ia merasa sendirian. Ia memandang ke bawah dan memeriksa ponselnya. Ada beberapa pesan Facebook dari teman-temannya di kota tempat tinggal terakhirnya. Mereka ingin mengetahui apakah ia menyukai tempat barunya. Entah kenapa, ia merasa tidak ingin menjawabnya. Mereka terasa sangat jauh.

Caitlin nyaris tidak makan, sebuah muak hari pertama yang samar masih menghinggapinya. Ia mencoba merubah rentetan pikirannya. Ia menutup matanya. Ia memikirkan apartemen barunya, naik lima lantai dalam sebuah bangunan dekil di jalan no. 132. Rasa mualnya semakin parah. Ia menarik napas dalam-dalam, menyuruh dirinya untuk berfokus pada sesuatu, sesuatu yang bagus dalam hidupnya.

Adik laki-lakinya. Sam. 14, akan menjadi 20. Sam tidak pernah terlihat ingat bahwa dia adalah adiknya: dia selalu bertingkah seperti kakak laki-lakinya. Dia tumbuh tabah dan kuat dari semua kepindahan, dari kepergian Ayah mereka, dari cara Ibu mereka memperlakukan mereka berdua. Ia bisa melihat hal itu semakin mendekati dia dan bisa melihat bahwa dia mulai menutup dirinya. Seringnya perkelahian sekolah dia tidaklah mengejutkannya. Ia takut itu hanya akan menjadi lebih buruk.

Tapi ketika berhubungan dengan Caitlin, Sam sangat menyayanginya. Dan ia juga menyayanginya. Dia adalah satu-satunya hal yang kosntan dalam hidupnya, satu-satunya yang bisa ia andalkan. Dia nampaknya menguasai satu titik lembut yang tersisa dalam dunianya. Ia bertekad melakukan yang terbaik untuk melindungi dia.

“Caitlin?”

Ia terlompat.

Berdiri di depannya, dengan baki di satu tangan dan kotak biola di tangan lainnya, adalah Jonah.

"Bolehkah aku bergabung denganmu?"

"Ya - maksudku tidak," katanya, salah tingkah.

Bodoh, pikirnya. Berhentilah bertingkah begitu gugup.

Jonah menyunggingkan senyumnya, lalu duduk di depan Caitlin. Dia duduk tegak, dengan postur tubuh yang sempurna, dan meletakkan biolanya dengan hati-hati di sisinya. Dia meletakkan makanannya dengan perlahan. Ada sesuatu tentang dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan. Dia berbeda dari siapa pun yang pernah is jumpai. Sepertinya dia berasal dari jaman yang berbeda. Dia benar-benar tidak berasal di tempat ini.

"Bagaimana hari pertamamu?" tanya Jonah.

"Tidak seperti yang kuharapkan."

"Aku tahu apa yang kamu maksud," kata Jonah.

"Apakah itu sebuah biola?"

Ia mengangguk pada instrumennya. Dia tetap menutupnya, dan tetap meletakkan satu tangan di atasnya, seolah-olah takut seseorang mungkin mencurinya.

"Ini sebenarnya adalah biola alto. Ini hanya sedikit lebih besar, tapi suaranya sangat berbeda. Lebih mellow."

Ia tidak pernah melihat sebuah biola alto, dan berharap dia akan meletakkannya di meja dan menunjukkan padanya. Tapi dia tidak melakukan apa-apa, dan ia tidak ingin mengungkitnya. Ia masih meletakkan tangan di atasnya, dan dia nampaknya melindungi benda itu, seperti layaknya benda yang personal dan pribadi.

"Apakah kau sering berlatih?"

Jonah mengangkat bahu. "Beberapa jam sehari," jawabnya sambil lalu.

"Beberapa jam!? Kau pasti hebat!"

Dia mengangkat bahu lagi. "Aku oke, sepertinya. Ada banyak pemain biola yang sangat lebih bagus dariku. Tapi aku berharap ini adalah tiketku untuk keluar dari tempat ini."

"Aku selalu ingin bermain piani," kata Caitlin.

"Kenapa tidak?"

Ia akan berkata, aku tidak pernah punya piano, tapi ia menghentikan dirinya sendiri. Sebaliknya, ia mengangkat bahu dan kembali pada makanannya.

"Kau tidak perlu memiliki sebuah piano," kata Jonah.

Ia mendongak, terkejut bahwa ia dapat membaca pikirannya.

"Ada ruang latihan di sekolah ini. Untuk semua hal jelek yang ada di sini, paling tidak itulah hal baiknya. Mereka akan memberimu pelajaran dengan gratis. Yang perlu kau lakukan hanya mendaftar."

Mata Caitlin melebar.

"Sungguh?"

"Ada lembar pendaftaran di luar ruang musik. Mintalah bertemu Ibu Lennox. Katakan pada beliau kau adalah temanku."

Teman. Caitlin menyukai bunyi kata itu. Ia perlahan-lahan merasakan suatu kegemburaan yang muncul di dalam dirinya.

Ia tersenyum lebar. Mata mereka bertemu selama sekejap.

Kembali memandangi mata hijaunya yang bercahaya, ia terbakar oleh keinginan untuk menanyakan jutaan pertanyaan: Apa kau punya pacar? Mengapa kau sangat baik? Apa kau benar-benar menyukaiku?

Tapi, sebaliknya, ia menggigit lidahnya dan tidak mengatakan apapun.

Takut bahwa waktu mereka bersama akan segera habis, ia memindai otaknya atas sesuatu untuk ditanyakan pada dia yang akan memperpanjang percakapan mereka. Ia mencoba untuk memikirkan sesuatu yang akan memastikan bahwa ia akan dapat menemuinya lagi. Tapi ia merasa gugup dan membeku.

Ia akhirnya membuka mulutnya, dan ketika ia melakukannya, lonceng berdentang.

Ruangan itu meledak menjadi riuh dan bergerak, dan Jonah berdiri, meraih biola altonya.

"Aku terlambat," katanya, meraih bakinya.

Dia melihat ke arah baki Caitlin. "Bolehkah aku membawa bakimu?"

Ia menunduk, menyadari bahwa ia melupakannya, dan menganggukkan kepalanya.

"Oke," kata Jonah.

Ia berdiri di sana, tiba-tiba malu, tidak tahu apa yang harus dikatakan.

"Hmm...sampai ketemu lagi."

"Sampai ketemu lagi," jawab Caitlin dengan lemah, suaranya hampir-hampir menyeruapi bisikan.

*

Hari pertama sekolah selesai, Caitlin keluar dari bangunan itu menuju ke siang hari bulan Maret yang cerah. Meskipun bertiup angin kencang, ia tidak lagi merasa dingin. Meskipun semua remaja di sekelilingnya berteriak ketika mereka mengalir keluar, ia tidak lagi merasa terganggu oleh kebisingan itu. Ia merasa hidup, dan bebas. Sisa hari itu telah berjalan secara samar-samar; ia bahkan tidak bisa mengingat satu saja nama guru baru.

Ia tidak dapat berhenti memikirkan Jonah.

Ia bertanya-tanya apakah ia telah bertingkah seperti orang bodoh di kafetaria itu. Ia telah tersandung oleh kata-katanya; ia bahkan nyaris tidak menanyakan apapun. Yang bisa ia pikirkan hanya menanyakan tentang biola altonya yang bodoh. Ia harusnya menanyakan di mana dia tinggal, dari mana dia berasal, ke mana dia mendaftar kuliah.

Yang paling penting, apakah dia memiliki seorang pacar. Seseorang seperti dia seharusnya mengencani seseorang.

Tepat pada saat itu, seorang remaja perempuan Hispanik cantik yang berpakaian dengan bagus tersenggol olah Caitlin. Caitlin memandanginya dari atas ke bawah ketika ia lewat, dan bertanya-tanya selama sedetik apakah itu adalah pacarnya.

Caitlin berbelok ke jalan no. 134, dan selama sedetik, melupakan ke mana ia akan pergi. Ia tidak pernah berjalan kaki pulang dari sekolah sebelumnya, dan selama beberapa saat, ia sama sekali tupa di mana apartemen barunya. Ia berdiri di sana di pojokan, bingung. Sebuah awan menutupi matahari dan angin kencang berhembus, dan ia tiba-tiba merasa dingin lagi.

"Hei, amiga!"

Caitlin berbalik, dan menyadari ia berdiri di depan kios dekil di pojokan. Empat pria lusuh duduk di kursi plastik di depannya, tampaknya tidak menyadari hawa dingin, menyeringai pada Caitlin seolah-olah ia adalah santapan selanjutnya.

Купите 3 книги одновременно и выберите четвёртую в подарок!

Чтобы воспользоваться акцией, добавьте нужные книги в корзину. Сделать это можно на странице каждой книги, либо в общем списке:

  1. Нажмите на многоточие
    рядом с книгой
  2. Выберите пункт
    «Добавить в корзину»