Бесплатно

Perjuangan Para Pahlawan

Текст
Из серии: Cincin Bertuah #1
0
Отзывы
iOSAndroidWindows Phone
Куда отправить ссылку на приложение?
Не закрывайте это окно, пока не введёте код в мобильном устройстве
ПовторитьСсылка отправлена
Отметить прочитанной
Шрифт:Меньше АаБольше Аа

“Setuju?” teriak MacGil.

McCloud berdiri dengan sungguh-sungguh.

“Setuju!” ulangnya.

Kerumunan menyoraki kedua kubu.

“Pilih orang terbaikmu!” teriak MacGil.

“Aku sudah melakukannya,” kata McCloud.

Muncul dari sisi McCloud ksatria tangguh, pria terbesar yang pernah dilihat Thor, menunggang di atas kudanya. Dia tampak seperti batu besar, semua berukuran besar, dengan jenggot panjang dan raut cemberut yang tampak permanen.

Thor merasakan gerakan di sampingnya, dan tepat di sampingnya, Erec melangkah, menunggang Warkfin, dan berjalan ke depan. Thor menelan ludah. Dia hampir tidak bisa percaya ini terjadi di sekelilingnya. Dia melambung dengan kebanggaan bagi Erec.

Lalu ia dirayapi kegelisahan, karena ia menyadari bahwa dia lah yang bertugas. Meski begitu, ia adalah pengawal dan ksatrianya akan bertarung.

“Apa yang kita lakukan?” Thor menanyai Feithgold terburu-buru.

“Berdiri di sana dan lakukan apa yang aku suruh,” jawabnya.

Erec melangkah maju ke jalur duel, dan dua ksatria itu berada di sana, saling berhadapan, kuda-kuda mereka menghentak dalam konflik yang menegangkan. Hati Thor berdebar di dadanya saat ia menunggu dan mengamati.

Sebuah terompet terdengar, dan keduanya menyerang satu sama lain.

Thor tidak bisa percaya keindahan dan anugerah Warkfin - ia seperti menonton ikan yang melompat dari laut. Ksatria lain sangat besar, tapi Erec adalah seorang pejuang yang tenang dan ramping. Dia memotong melalui udara, kepalanya rendah, baju zirahnya berwarna perak beriak, lebih mengilap daripada baju zirah yang pernah ia amati.

Saat kedua pria bertemu, Erec memegang tombaknya dengan tujuan yang sempurna dan mencondongkan tubuh ke samping. Ia berhasil mengenai ksatria itu di pusat tamengnya sambil secara bersamaan mengelak dari serangannya.

Tubuh besar pria itu jatuh ke belakang, menyentuh tanah. Rasanya seperti batu besar yang mendarat.

Massa MacGil bersorak saat Erec menunggang kuda lalu, berbalik, dan berputar kembali. Dia mengangkat pelat wajahnya dan memegang ujung tombaknya ke tenggorokan pria itu.

“Menyerahlah!” teriak Erec.

Ksatria itu meludah.

“Tidak akan!”

Ksatria kemudian mencapai menuju tas tersembunyi di pinggangnya, mengeluarkan segenggam kotoran, dan sebelum Erec bisa bereaksi, ia melemparnya ke wajah Erec.

Erec, tertegun, menggapai matanya, menjatuhkan tombaknya dan jatuh dari kudanya.

Massa MacGil ber-hu dan mendesis dan berteriak dalam kemarahan saat Erec jatuh, mecengkram matanya. Ksatria itu, tidak membuang waktu, segera menyerang dan menjerit dalam kemarahan dan mengenai dengan lututnya.

Erec bergulung, dan ksatria meraih batu besar, mengangkatnya tinggi, dan bersiap untuk melemparkannya ke kepala Erec.

“TIDAK!” Thor menjerit, melangkah ke depan, tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri.

Thor menyaksikan dalam kengerian saat ksatria itu melempar batu pada detik-detik terakhir, Erec entah bagaimana berguling menghindar. Batu itu menancap dalam di tanah, tepat di mana kepalanya berada tadi.

Thor terpana dengan kecekatan Erec. Ia telah berdiri, menghadapai lawan petarungnya yang curang.

“Pedang pendek!” seru Raja.

Feithgold tiba-tiba mendorong dan memandang Thor, lebar-lebar.

“Berikan padaku!” teriaknya.

Jantung Thor berdebar dengan panik. Ia berputar ke sekeliling, mencari rak senjata Erec, dengan putus asa mencari pedang itu. Ada sebuah susunan senjata yang membingungkan di depannya. Ia mengulurkan tangan, menyambarnya, dan mengulurkannya ke dalam telapak tangan Feithgold.

“Bocah bodoh! Itu adalah pedang sedang!” teriak Feithgold.

Leher Thor mejadi kering, ia merasa seluruh kerajaan mengawasinya. Pandangannya kabur dengan kegugupan saat ia berputar menjadi panik, tidakn mengetahui pedang mana yang dipilih. Ia hampir tidak bisa fokus.

Feithgold melangkah maju, menyuruh Thor menyingkir, dan menyambar pedang pendek itu sendiri. Ia bersegera , menuju jalur duel.

Thor menyaksikan ia pergi, merasa tidak berguna, mengerikan. Ia juga mencoba membayangkan jika itu adalah dirinya yang lari keluar ke sana, di depan semua orang itu, dan lututnya menjadi lemas.

Pengawal ksatria lain mencapainya lebih dulu, dan Erec harus menghindar saat ksatria itu mengayunkan pedang untuknya, nyaris meleset. Akhirnya, Feithgold mencapai Erec dan meletakkan pedang pendek di tangannya. Setelah ia melakukannya, ksatria menyerang Erec. Tapi Erec terlalu pintar. Ia menunggu sampai saat-saat terakhir, kemudian menghindar.

Ksatria itu terus menyerang, kendati, dan berlari tepat ke arah Feithgold, berdiri, menuju ketidak-beruntungannya, di tempat di mana Erec baru saja berada. Ksatria itu, dipenuhi dengan kemarahan karena Erec luput, terus menyerang dan meyambar Feithgold dengan kedua tangannya pada rambutnya, dan kepala menanduknya dengan keras di wajah.

Ada gemeretak tulang saat darah mengalir dari hidung Feithgold dan ia jatuh pingsan ke tanah, lemas.

Thor berdiri di sana, mulutnya menganga dalam keterkejutan. Ia tidak dapat memercayainya. Demikian juga massa, yang ber-hu dan mendesis.

Erec mengayunkan pedangnya, luput mengenai ksatria itu, dan keduanya berhadap-hadapan lagi.

Thor tiba-tiba sadar: ia adalah satu-satunya pengawal Erec sekarang. Ia menelan ludah. Apa yang seharusnya ia lakukan? Ia tidak siap untuk ini. Dan seluruh kerajaan menyaksikan.

Kedua ksatria saling menyerang dengan ganas, melancarkan serangan demi serangan. Sangat jelas bahwa ksatria McCloud lebih kuat dari Erec – tapi Erec adalah petarung yang lebih baik, lebih cepat dan lebih tangkas. Mereka mengayunkan dan memangkas dan menangkis, tidak mampu untuk mendapatkan keuntungan.

Akhirnya, Raja MacGil berdiri.

“Tombak panjang!” teriaknya.

Jantung Thor berdegup. Ia tahu ini ditujukan padanya: ia yang bertugas.

Ia berbalik dan melihat rak, mengambil senjata yang nampaknya paling sesuai. Saat ia menyambar poros kulitnya, ia berdoa semoga ia memilih dengan benar.

Ia bersegera menuju jalur dan bisa merasakan ribuan mata tertuju padanya. Ia lari dan berlari atas semua yang berharga untuknya, ingin mencapai Erec secepat mungkin, dan akhirnya menyerahkan tombak itu ke tangannya. Ia bangga melihat ia mencapai Erec lebih dulu.

Erec mengambil tombak itu dan berbalik, bersiap untuk menghadapi ksatria lain. Menjadi ksatria terhormat seperti dia, Erec menunggu sampai ksatria lain dipersenjatai sebelum menyerang. Thor segera pergi ke samping, keluar dari jangkauan para pria itu, tidak ingin mengulangi kesalahan Feithgold. Saat ia melakukannya, ia menyeret tubuh lemas Feithgold keluar dari jalur yang berbahaya.

Saat Thor melihat, ia merasakan sesuatu yang salah. Lawan Erec mengambil tombaknya, mengangkatnya tingi-tinggi, mengarahkan tepat di jantung Erec. Dalam beberapa detik, Erec akan mati – tidak mungkin ia dapat bereaksi tepat pada waktunya. Dari tampilan mata pisau bergerigi, itu kelihatannya bisa menembus baju zirah.

Pada saat itu, Thor merasa seluruh tubuhnya menghangat. Ia merasakan sensasi menggelitik – itu adalah sensasi yang sama yang ia alami dulu di Darkwood, ketika melawan Sybold. Seluruh dunianya melambat. Ia dapat melihat ujung tombak itu berputar dalam gerak lambat, dapat merasakan sebuah energi, hawa panas, muncul dalam dirinya – yang ia tidak ketahui ia miliki.

Ia melangkah maju dan merasa lebih besar disbanding ujung tombak. Dalam benaknya, ia menginginkannya berhenti. Ia memintanya berhenti. Ia tidak ingin melihat Erec terluka. Terutama tidak dengan cara ini.

“TIDAK!” jerit Thor.

Ia mengambail langkah lain dan mengulurkan telapak tangannya, diarahkan pada ujung tombak.

Tombak itu berhenti dan diam di sana, di udara, tepat sebelum mencapai jantung Erec.

Tombak itu lalu jatuh tanpa berbahaya ke tanah.

Kedua ksatria berpaling dan melihat Thor – demikian halnya kedua raja, demikian halnya ribuan penonton. Ia merasa seluruh dunia menatapnya, dan menyadari mereka semua menyaksikan apa yang ia lakukan. Mereka semua tahu ia bukan bocah biasa, bahwa ia memiliki semacam kekuatan, bahwa ia telah mempengaruhi pertandingan, telah menyelamatkan Erec - dan mengubah nasib kerajaan.

Thor berdiri terpaku, bertanya-tanya apa yang baru saja terjadi.

Ia sekarang yakin ia bukanlah orang yang sama dengan semua orang-orang ini. Ia berbeda.

Tapi siapakah dia?

BAB SEMBILAN

Thor menemukan dirinya ditarik keluar dari kerumunan oleh Reece, putra termuda Raja dan mitra barunya. Sejak kejadian di arena duel, semuanya menjadi kabur. Apapun yang ia lakukan di sana, kekuatan apa yang ia gunakan untuk menghentikan ujung tombak yang hendak membunuh Erec, semua telah menarik perhatian seluruh kerajaan. Perlombaan telah dihentikan saat itu juga berdasarkan perintah dari kedua Raja, sebuah gencatan senjata dilangsungkan. Masing-masing Raja mundur ke wilayahnya, kerumunan terpecah dan gelisah, dan Thor merasakan lengannya ditarik oleh Reece.

Ia digiring menuju kelompok bangsawan, jalan pintas untuk melewati orang-orang, Reece menarik lengannya di sepanjang jalan. Thor belum pulih dari keterkejutannya akibat kejadian hari itu. Ia masih sulit memahami apa yang baru saja ia lakukan di sana, bagaimana hal itu mempengaruhi banyak hal. Ia hanya ingin menjadi orang biasa, seseorang dalam Legiun Kerajaan. Ia tidak ingin menjadi pusat perhatian.

Lebih buruk lagi, ia tak tahu kemana ia dibawa, mungkin ia akan dihukum karena telah mengganggu. Memang ia telah menyelamatkan nyawa Erec – namun ia telah mengganggu pertempuran para ksatria, dan itu terlarang. Ia tak yakin apakah ia akan mendapatkan hadiah atau ganjaran.

 

“Bagaimana bisa kau melakukannya?” seru Reece kepadanya. Thor tercengang, berusaha menyusun kata-kata. Ketika ia berjalan, orang-orang ternganga, menatapnya seakan ia sejenis makhluk aneh.

“Aku tak tahu,” jawab Thor sungguh-sungguh. “Aku hanya ingin menolongnya dan .. terjadilah hal itu.”

Reece menganggukkan kepalanya.

“Kau menyelamatkan nyawa Erec. Sadarkah kau? Ia ksatria kami yang paling tangguh. Dan kau menyelamatkan nyawanya.”

Thor merasakan sesuatu yang baik dalam perkataan Reece, merasakan suatu kelegaan karenanya. Ia telah menyukai Reece di awal perjumpaan mereka; ia memiliki kemampuan untuk menenangkan, selalu tahu apa yang harus dikatakan. Ia termenung, memikirkan kemungkinan ia tak akan mendapatkan hukuman atas hal ini. Mungkin mereka akan menganggapnya sebagai pahlawan.

“Aku tak mencoba melakukan apapun,” kata Thor. “Aku hanya ingin dia hidup. Itu .. biasa saja. Bukan suatu hal yang luar biasa.”

“Bukan hal luar biasa?” ulang Reece. “Aku tak bisa melakukan itu. Tak seorang pun di antara kami yang bisa.”

Mereka berbelok di suatu sudut dan Thor melihat kastil Raja di depan mereka, terbentang luas,

tinggi menuju langit. Kastil itu tampak mengagumkan. Pasukan Raja berdiri dengan sigap, berdiri berjajar di jalan batu di depan jembatan tarik, menjaga kerumunan tetap berada di luar jembatan. Mereka minggir untuk memberi jalan pada Reece dan Thor.

Mereka berdua berjalan menyusuri jalan, para prajurit di kedua sisinya, hingga mereka mencapai pintu-pintu besar melengkung dengan palang pintu besi. Empat prajurit mendorongnya hingga terbuka dan memberi jalan, dengan waspada. Thor tak percaya dengan perlakuan yang sedang diterimanya, ia merasa dirinya seperti seorang anggota keluarga kerajaan.

Ketika mereka memasuki kastil, pintu di belakang mereka tertutup. Thor takjub dengan pemandangan di sekelilingnya: bagian dalam kastil itu sangat luas, dengan dinding batu yang tebal, tinggi dan ruang-ruang yang besar dan terbuka. Di depannya berdiri ratusan anggota bangsawan kerajaan, bergumam dengan suka cita. Ia dapat merasakan gumaman keriangan di udara, dan semua mata memandang kepadanya ketika ia masuk. Ia merasa malu karenanya.

Mereka berdesak-desakkan, tampak takjub ketika Thor berjalan bersama Reece menyusuri koridor kastil. Ia tak pernah melihat orang berpakaian bagus sebanyak itu. Ia melihat lusinan gadis dari segala usia, lengkap dengan perhiasan, tangan mereka bersidekap dan berbisik di telinga satu sama lain sambil terkekeh-kekeh memandanginya. Ia menyadari siapa dirinya. Ia tak dapat memastikan apakah mereka menyukainya, atau mereka hanya menertawakannya. Ia tak pernah menjadi pusat perhatian – apalagi di dalam balairung istana – dan sulit memutuskan bagaimana ia bersikap.

“Mengapa mereka menertawakan aku?” tanyanya pada Reece.

Reece berbalik dan tertawa geli. “Mereka tidak menertawakanmu,” sahutnya. “Mereka mulai menyukaimu. Kau ‘kan terkenal.”

“Terkenal?” tanyanya, heran. “Apa maksudmu? Aku baru saja sampai di sini.”

Reece tertawa dan menepuk bahu Thor dengan satu tangannya. Ia tampak terhibur berkat kehadiran Thor.

“Gosip menyebar cepat ke seluruh istana, lebih cepat daripada yang kau bayangkan. Seorang pendatang baru seperti dirimu – sesuatu seperti itu tak terjadi setiap hari.”

“Ke mana kita pergi?” tanyanya, menyadari ia sedang digiring ke suatu tempat.

“Ayahku ingin menemuimu,” katanya, saat itu mereka sedang memasuki sebuah koridor baru.

Thor menelan ludahnya.

“Ayahmu? Maksudmu .. Sang Raja?” Mendadak ia merasa gugup. “Mengapa beliau ingin menemuiku? Apa kau yakin?”

Reece tertawa.

“Sangat yakin. Jangan gugup. Kau hanya akan bertemu dengan ayahku.”

“Hanya bertemu dengan ayahmu?” Thor nyaris tak percaya. “Dialah Sang Raja!”

“Ia tak seburuk yang kau bayangkan. Aku punya firasat pertemuan ini akan menyenangkan. Lagipula, kau telah menyelamatkan nyawa Erec.”

Thor kembali menelan ludah, tangannya berkeringat. Saat itu sebuah pintu besar lain terbuka dan mereka memasuki sebuah ruangan yang sangat luas. Ia memandang takjub pada langit-langit yang melengkung, yang dirancang dengan apik dan membubung tinggi. Dinding-dindingnya dihiasi dengan jendela-jendela kaca, dan ruangan ini bahkan mungkin mampu menampung lebih banyak orang. Ada ribuan orang di sana dan ruangan itu telah menjadi padat karenanya. Meja-meja dengan karangan bunga berjajar melintang ruangan sejauh mata memandang, orang-orang duduk di bangku yang sangat panjang, makan bersama-sama. Di antara meja-meja itu terdapat sebuah karpet merah memanjang yang sempit menuju singgasana. Kerumunan orang itu minggir dan memberi jalan ketika Reece dan Thor berjalan di atasnya hendak menghadap Raja.

“Ke mana kau akan membawanya?” tanya sebuah suara sengau dengan nada bermusuhan.

Thor mengangkat wajahnya dan melihat seorang laki-laki berdiri di hadapannya, tidak terlalu tua daripadanya, mengenakan jubah istana. Jelas sekali ia seorang pangeran, dan ia menghalangi jalan mereka dengan raut muka marah.

“Ini perintah Ayah,” jawab Reece. “Minggirlah, atau kau ingin menentangnya.”

Pangeran itu berdiri mematung dengan muka masam, menatapnya seakan ia menggigit sesuatu yang busuk ketika ia meneliti Thor. Thor tidak menyukainya sama sekali. Ada sesuatu yang tidak dapat ia percayai darinya, akibat tubuhnya yang bongkok, figur yang tidak ramah dan mata yang tak pernah berhenti melotot.

“Ini bukan tempat bagi rakyat jelata,” jawab si pangeran. “Kau harus pulangkan si gembel ini ke tempat dimana ia berasal.”

Thor merasa dadanya sesak. Sangat jelas bahwa lelaki itu membencinya, dan ia tak tahu mengapa.

“Haruskah kukatakan itu pada Ayah?” Reece membalas, berusaha membela diri.

Dengan bersungut-sungut si pangeran membalikkan tubuhnya dan berlalu dengan cepat.

“Siapa itu?” tanya Thor pada Reece ketika mereka kembali berjalan.

“Jangan pikirkan dia,” jawab Reece. “Ia kakak tertuaku – atau salah satu kakak tertuaku. Gareth. Si sulung. Yah, sebenarnya bukan dia yang tertua – ia hanyalah putra sah yang tertua. Kendrick, yang kau jumpai di arena pertempuran – dialah si sulung yang sebenarnya.”

“Mengapa Gareth membenciku? Aku bahkan tak mengenal dirinya.”

“Jangan khawatir – ia bukan hanya membencimu. Ia membenci semua orang. Dan siapa saja yang dekat dengan keluarga kerajaan akan dipandangnya sebagai ancaman. Tak usah kau pikirkan dia. Ada banyak orang yang seperti dia.”

Mereka tetap berjalan, dan Thor merasakan dirinya semakin menaruh hormat pada Reece. Sikapnya bagaikan seorang teman sejati baginya.

“Mengapa kau berada di pihakku?” tanya Thor ingin tahu.

Reece mengangkat bahunya.

“Aku diperintahkan oleh Ayah untuk membawamu. Lagipula, kau adalah rekan berlatihku. Dan aku jarang menjumpai seseorang seusiaku yang kupikir dapat bermanfaat untukku.”

“Tapi apa yang membuat diriku bermanfaat?” tanya Thor.

“Semangat berjuangmu. Semangatmu itu jarang dimiliki siapapun.”

Ketika mereka berjalan kembali menyusuri lorong menuju singgasana, Thor merasa ia pernah mengenal Reece – sangat aneh, namun ia merasa Reece seperti saudara kandungnya sendiri. Ia tak pernah punya saudara – saudara yang sesungguhnya – dan ini hebat.

“Kakak-kakaku yang lain tidak seperti dia, jadi jangan khawatir,” kata Reece ketika orang-orang mulai berkerumun di sekeliling mereka, berusaha melihat Thor dari dekat. “Kakakku Kendrick, kau sudah mengenalnya – dialah yang terbaik. Ia bukan saudara kandungku sepenuhnya, tapi aku menganggapnya seperti kakak kandungku sendiri – bahkan lebih daripada Gareth. Kendrick seperti ayah kedua bagiku. Ia akan berbuat yang sama kepadamu, aku yakin. Tak ada yang tak akan ia lakukan untukku – atau untuk siapapun. Ia adalah anggota keluarga kerajaan yang paling dicintai oleh rakyat kami. Sayangnya ia tak diperkenankan menjadi Raja.”

“Kau bilang ‘kakak-kakakmu’. Apa kau masih punya kakak laki-laki lain?”tanya Thor.

Reece menghela nafas panjang.

“Ya, aku punya seorang kakak laki-laki lain. Kami tidak dekat. Namanya Godfrey. Sayangnya, ia menghabiskan hari-harinya di kedai bir, bersama rakyat jelata. Ia bukan pejuang seperti kami. Ia tak tertarik pada hal semacam ini – ia tak tertarik pada apapun. Kecuali bir – dan perempuan.”

Mendadak mereka berhenti ketika seorang gadis menghalangi jalan mereka. Thor berdiri di sana, terpaku. Ia mungkin beberapa tahun lebih tua daripadanya, menatapnya dengan mata biru kecoklatan, kulit yang sempurna dan rambut panjang berwarna stroberi. Ia memakai gaun satin putih berenda, dan matanya berbinar-binar, menari dengan riang dan nakal. Gadis itu mengunci dirinya dalam matanya dan memegangnya erat-erat. Ia tak dapat menggerakkan tubuhnya meski ia ingin. Gadis itu adalah sosok tercantik yang pernah ia lihat.

Ia tersenyum, memamerkan giginya yang putih sempurna – dan ketika ia sudah bisa menguasai diri, senyum gadis itu menahan ia di sana, mengangkat hatinya dengan sekali gerakan. Ia tak pernah merasa bahagia seperti sekarang.

Thor berdiri di depannya, tak bisa berkata-kata. Tak bisa bernafas. Baru pertama kalinya dalam hidup ia merasa seperti sekarang.

“Apakah kau tidak hendak memperkenalkan aku?” tanya gadis itu pada Reece. Suaranya jelas mengarah pada Thor – dan suara itu lebih manis daripada kehadirannya.

Reece mendesah.

“Dan ini kakak perempuanku,” ujarnya sambil tersenyum. “Gwen, ini Thor. Thor, ini Gwen.”

Gwen membungkuk.

“Apa kabar?” tanyanya sambil tersenyum.

Thor berdiri mematung, ia seperti membeku. Gwen pun tertawa geli.

“Santai saja,” kata Gwen sambil tertawa.

Thor merasa malu; kemudian ia berdehem.

“Ma .. maafkan aku,” katanya. “NamakuThor.”

Gwen tertawa geli.

“Aku sudah tahu ‘kok,” katanya. Ia berpaling ke arah adiknya. “Reeceku, temanmu jelas mempunyai masalah dengan kata-kata.”

“Ayah ingin menemuinya,” kata Reece tak sabar. “Kami bisa terlambat.”

Thor ingin berbincang-bincang dengannya, mengatakan betapa cantik dirinya, betapa hatinya sangat senang mengenalnya, betapa merasa terhormatnya ia karena gadis itu mengajaknya bicara. Tapi lidahnya benar-benar kelu. Ia tak pernah merasa segugup ini, dan hanya bisa mengatakan:

“Terima kasih.”

Gwen tertawa geli. Lebih keras daripada sebelumnya.

“ Terima kasih untuk apa?” tanyanya. Matanya bercahaya. Ia sangat menikmati saat itu.

Thor merasa mukanya memerah lagi.

“Mmm .. Aku tak tahu, “ gumamnya.

Gwen tertawa lebih keras, dan Thor pun merasa dipermalukan. Reece menyenggol bahunya, menyuruhnya untuk terus, dan keduanya kemudian berjalan kembali. Setelah beberapa langkah, Thor menengok ke belakang. Gwen masih berdiri di sana, balas menatap ke arahnya.

Thor merasa jantungnya berdebar. Ia ingin berbicara kepadanya, untuk mencari tahu banyak hal tentangnya. Ia sangat malu akan ketidakmampuannya berkata-kata. Tapi ia memang belum pernah menjalin hubungan dengan para gadis di desa kecilnya – dan tentu saja tidak pada makhluk secantik itu. Ia tak pernah diajarkan apa yang harus dikatakan, bagaimana harus bersikap ketika sedang berhadapan dengan seorang gadis.

“Ia memang banyak bicara,” kata Reece ketika mereka kembali mendekat ke arah Raja. “Tak usah kau khawatirkan dia.”

“Siapa namanya?” tanya Thor.

Reece memandangnya geli. “Ia kan sudah mengatakannya padamu!” ujarnya sambil tertawa.

“Maafkan aku .. aku .. mm .. aku lupa,” kata Thor, malu.

“Gwendolyn. Tapi semua orang memanggilnya Gwen.”

Gwendolyn. Thor mengulang-ulang namanya dalam pikirannya. Gwendolyn. Gwen. Ia tak ingin melupakannya. Ia ingin menanamkannya dalam kesadarannya. Ia bertanya-tanya apakah ia akan punya kesempatan untuk bertemu kembali dengannya. Mungkin tidak, pikirnya. Ia adalah rakyat jelata. Dan hal ini menyakitinya.

Kerumunan itu menjadi hening ketika Thor tampak dan semakin dekat dengan Raja. Raja MAcGil duduk di singgasananya, mengenakan mantel ungu kerajaan, memakai mahkota dan tampak mengagumkan.

Reece berlutut di hadapannya, dan kerumunan pun menjadi hening. Thor mengikutinya. Kesunyian menyelimuti seisi ruangan.

Sang Raja berdehem dengan suara dalam dan menggetarkan hati. Ketika ia berbicara, suaranya menggema ke seluruh ruangan.

 

“Thorgin dari Dataran Rendah Provinsi Selatan Kerajaan Barat,” ucapnya. “Apakah kau menyadari bahwa hari ini kau mengganggu acara duel kerajaan?”

Thor merasa tenggorokannya mengering. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab; ini bukan cara yang bagus untuk memulai. Ia bertanya-tanya apakah ia akan mendapatkan hukuman.

“Maafkan saya, Tuanku,” akhirnya ia menjawab. “Saya tak bermaksud demikian.”

MacGil mencondongkan tubuh ke depan dan mengangkat satu alisnya.

“Kau tak bermaksud demikian? Maksudmu kau tak bermaksud menyelamatkan nyawa Erec?”

Thor merasa frustasi. Ia sadar telah membuat situasi makin memburuk.

“Tidak, Tuanku. Saya memang bermaksud untuk – “

“Jadi kau mengaku kalau kau memang bermaksud mengganggu?”

Thor merasa hatinya berdegup kencang. Apa yang harus ia katakan?

“Maafkan saya, Tuanku. Saya hanya .. ingin membantu.”

“Ingin membantu?” hardik MacGil. kemudian kembali bersandar dan tertawa terbahak-bahak.

“Kau ingin membantu Erec! Dia adalah ksatria kami yang terhebat dan terkenal!”

Seisi ruangan meledak dalam tawa, Thor merasa wajahnya memerah, untuk kesekian kalinya dalam satu hari ini. Dapatkah ia melakukan sesuatu yang benar di sini?

“Berdiri dan mendekatlah, Nak,” perintah MacGil.

Thor mengangkat wajahnya dan terkejut ketika melihat Raja tersenyum ke arahnya, mengawasinya, ketika ia berdiri dan berjalan mendekat.

“Aku melihat kemuliaan dalam wajahmu. Kau bukan bocah lelaki biasa. Kau bukan orang kebanyakan ..”

MacGil kembali membersihkan kerongkonganna.

“Erec adalah ksatria terkasih kami. Apa yang kau lakukan hari ini adalah hal yang luar biasa. Sesuatu yang luar biasa untuk kami semua. Sebagai hadiahnya, mulai hari ini. aku mengangkatmu sebagai bagian dari keluargaku, dengan semua penghargaan dan penghormatan sebagaimana yang didapat oleh semua putraku.”

Sang Raja menyandarkan tubuhnya dan berseru : “Biarkan rakyat mengetahuinya!”

Ada keriangan dan derap kaki berlarian di seluruh ruangan.

Thor melihat ke sekeliling, bingung, tak bisa memahami apa yang sedang menimpa dirinya. Bagian dari keluarga Kerajaan. Ini bahkan tak pernah ia impikan. Ia hanya ingin diterima, dan mendapat tempat dalam Legiun. Dan sekarang, ini. Ia merasa sangat bersyukur, dengan suka cita, ia bahkan tak tahu harus bagaimana.

Sebelum ia dapat bereaksi, mendadak perhatian seisi ruangan teralihkan oleh musik dan semua menari dan bersuka ria. Semua orang di ruangan itu merayakan hal itu. Riuh rendah. Ia memandang Sang Raja, melihat kasih sayang dalam matanya, bersama cinta sejati dan penerimaan. Ia tak pernah merasakan kasih sayang seorang figur ayah seumur hidupnya. Dan di sinilah ia sekarang, dicintai oleh seseorang, dan ia bukan orang biasa. Ia adalah Sang Raja sendiri. Saat ini dunianya telah berubah. Ia berdoa, semoga semua ini bukan mimpi.

*

Gwendolyn berjalan menjauh dari kerumuman. Ia ingin mencuri pandang ke arah anak laki-laki sebelum ia dibawa ke halaman istana. Thor. Jantungnya berdebar ketika ia memikirkannya, dan ia tak bisa berhenti mengingat namanya. Ia tak mampu berhenti berpikir tentangnya sejak saat mereka berjumpa. Ia memang lebih muda darinya, namun tidak lebih dari dua atau satu tahun – dan lagipula, roman wajahnya menujukkan ia tampak lebih dewasa, lebih matang daripada bocah lainnya, lebih bijaksana. Sejak saat ia berjumpa dengannya, ia merasa pernah mengenalnya. Ia tersenyum sendiri ketika ingat bagaimana gugupnya bocah itu ketika mereka bertemu. Ia bisa mengetahui melalui tatapan matanya bahwa bocah itu merasakan hal yang sana dengannya.

Tentu saja, ia tak mengetahui apapun tentang bocah lelaki itu. Namun ia telah menyaksikan apa yang dilakukannya di arena duel, dan telah melihat kegembiraan yang telah dibawa adik bungsunya kepadanya. Ia talah mengawasi anak itu sejak saat itu, merasakan ada sesuatu yang istimewa di dalam dirinya, sesuatu yang membedakannya dengan orang lain. Pertemuan dengan anak laki-laki itu baru saja membuktikan keyakinannya. Ia berbeda dibandingkan semua bangsawan, dibandingkan semua orang yang lahir dan dibesarkan di sini. Ada sesuatu yang alami tentangnya. Ia memang orang asing. Rakyat jelata. Namun anehnya, memiliki gerak-gerik seorang bangsawan. Itu hanya mungkin seandainya ia merasa terlalu bangga terhadap siapa dirinya.

Gwen berjalan menuju ujung balkon teratas dan melihat ke bawah. Di bawahnya terserak halaman istana, dan ia menangkap sekelebat bayangan Thor ketika ia digandeng keluar oleh Reece di sisinya. Mereka tampaknya berjalan menuju barak, untuk berlatih bersama bocah lelaki lainnya. Ia merasakan suatu kekecewaan yang tiba-tiba, bertanya dalam hati. Ia mencoba menyusun rencana, bagaimana caranya menemui anak lelaki itu lagi.

Gwen harus mengetahui lebih banyak tentang anak lelaki itu. Ia harus melakukannya. Untuk itu, ia harus berbicara dengan satu-satunya perempuan yang mengetahui tentang setiap orang dan semua yang terjadi di dalam kerajaan: ibunya.

Gwen membalikkan tubuh dan memotong jalan melalui kerumunan, mengitari bagian belakang koridor kastil yang telah dihafalnya di luar kepala. Kepalanya terasa pening. Ini adalah hari yang membingungkan. Pertama-tama, pertemuan di pagi hari dengan ayahnya dan kabar yang mengejutkan bahwa ia akan menggantikan ayahnya menjadi raja. Ia benar-benar terkejut, dan tak pernah memimpikan hal itu hingga berjuta tahun sekalipun. Bahkan ia masih sulit mempercayainya hingga sekarang. Bagaimana mungkin ia memerintah sebuah kerajaan? Ia berusaha mengusir pikiran itu dari pikirannya, berharap hari ini tak pernah terjadi. Apalagi, ayahnya masih sehat dan kuat, dan lebih dari segalanya, ia sangat menginginkannya untuk tetap hidup. Di sini bersama dengannya. Untuk hidup berbahagia.

Namun ia tak dapat menyudahi pikiran tentang pertemuan itu. Sesuatu di sana sedang mengintip. Sebuah bibit telah ditanam, dan suatu hati, entah kapan, ia akan menjadi penerus Raja. Ia akan menggantikan ayanya. Dan bukannya para saudara laki-lakinya. Tapi dia, seorang perempuan. Hal ini membuat ia merinding, sekaligus membuat dirinya merasa dirinya dibutuhkan dan bangga terhadap dirinya sendiri, dna itu tak seperti yang sudah-sudah. Ayahnya memilihnya untuk berkuasa – dia - sebagai yang terbijaksana di antara semuanya. Dan ia tak tahu mengapa.

Hal ini juga membuat ia khawatir. Ia memperkirakan ditunjuknya dirinya sebagai pewaris takhta akan memancing kebencian dan rasa iri yang sangat besar – ia, seorang perempuan, dipilih untuk berkuasa. Ia telah dapat merasakan keirian Gareth. Dan itu membuatnya takut. Ia tahu saudara laki-laki tertuanya itu sangat manipulatif dan sangat kejam. Ia tak akan berhenti melakukan apapun untuk mendapatkan apapun yang diinginkannya, dan ia benci memikirkan kemungkinan ia akan diawasi oleh kakaknya. Ia telah mencoba berbicara dengannya sesudah pertemuan itu, namun kakaknya itu bahkan tak mau melihat ke arahnya.

Gwen berlari menuruni anak tangga spiral, sepatunya terdengar bergema dalam dinding batu. Ia berjalan di sepanjang koridor lain, melewati sebuah kapel kecil, melalui pintu, melewati beberapa pengawal dan memasuki ruang-ruang pribadi dalam kastil. Ia harus berbicara dengan ibunya, yang diketahuinya sedang beristirahat di sini. Ibunya tak dapat bergabung lebih lama dengan khalayak terlalu lama – dia lebih suka menyendiri di kamar pribadinya dan beristirahat selama mungkin.

Gwen berjalan melewati pengawal, menyeberangi ruangan besar lain, lalu menghentikan langkahnya di depan pintu ruang rias ibunya. Ia hendak membukanya, namun ia ragu-ragu. Di belakang pintu di dengarnya suara lirih, nada mereka meninggi dan tampaknya terjadi sesuatu. Ia mendengar ibunya marah. Ia mendekatkan telinganya, dan terdengarlah suara ayahnya. Mereka bertengkar. Tapi mengapa?

Gwen tahu ia tak seharusnya menguping – namun ia tak dapat menahan keingintahuannya. Ia mengulirkan tangan dan dengan lembut didorongnya pintu oak hingga terbuka, meraih pintu pada pegangan pintu besi. Ia membuka pintu dan mendengarkan.

“Ia tidak akan tinggal di rumahku,” hardik ibunya.

“Kau buru-buru membuat penilaian sebelum mendengar cerita keseluruhannya.”

Купите 3 книги одновременно и выберите четвёртую в подарок!

Чтобы воспользоваться акцией, добавьте нужные книги в корзину. Сделать это можно на странице каждой книги, либо в общем списке:

  1. Нажмите на многоточие
    рядом с книгой
  2. Выберите пункт
    «Добавить в корзину»